Wednesday, June 15, 2022

Malim Sungai, Penginapan Murah di Jagoi Babang

Meskipun berada di pedalaman dan jauh dari pusat kota, mencari penginapan di Jagoi Babang bukanlah hal yang susah. Disini, setidaknya ada dua tempat penginapan yang akan membuat tidur malam anda terasa nyaman dan aman. Itu yang diketahui, mungkin bisa saja lebih dari jumlah yang diatas. Untuk harganya bagaimana? Tenang saja, pasti aman dikantong dan tidak membuat kita bengong.


Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 17.30 WIB. Sebentar lagi, matahari akan menyingsing siang dan berganti dengan gelapnya malam. Berhubung perjalanan yang dilalui cukup panjang, kami pun memutuskan untuk mampir disebuah warung kopi, tepatnya didepan kantor Desa Jagoi.


Kedatangan kami yang terlalu sore rasanya kurang pas untuk mengeksplor wilayah Jagoi Babang, terutama mendatangi rumah adatnya. Ingin pulang ke Kota Bengkayang pun rasanya cukup jauh, terlebih tubuh yang sudah terasa letih. Beruntung, pemilik warung menunjukkan kami tempat penginapan yang tak jauh dari lokasi kami bersantai.


Tanpa membuang waktu, saya dan salah satu rekan pergi ke tempat penginapan tersebut. Tapi sayang, saat itu semua kamar sudah penuh, telah di booking para tamu yang nanti malam akan tiba. Kami pun keluar dengan langkah kaki yang gontai.


Setidaknya ada dua kemungkinan jika malam tersebut tidak mendapatkan tempat penginapan. Opsi pertama adalah menginap di masjid yang terdekat, sedangkan yang kedua adalah mutar balik lagi ke Kota Bengkayang, kemudian langsung pulang ke Mempawah. Pupus sudah semua rencana yang katanya ingin bertandang ke Rumah Adat Jagoi Babang atau belanja barang-barang Malaysia. 


Lagi-lagi kami merasa beruntung, disaat ingin memutuskan untuk segera pulang, tiba-tiba datang pemuda setempat yang merekomendasikan sebuah tempat penginapan. Meskipun saat itu sudah merasa sedikit genting, tapi jangan lupa untuk tetap selalu bersyukur.


"Nginap di Malim Sungai saja bang. Tapi disana tidak ada sinyal." Pemuda tersebut menyarankan kepada kami, lengkap dengan lokasi penginapannya. 


Untuk sinyal seluler bagi saya tidak peduli, yang penting kami bisa meluruskan badan, merehatkan tubuh yang sudah terasa letih. Toh, di Jagoi Babang memang terkendala untuk sinyal, hanya ada jaringan telkomsel.


Penginapan Malim Sungai


Tanpa membuang waktu, kami pun segera menuju ke lokasi. Ternyata tidak terlalu jauh, hanya melewati dua jembatan sungai dengan waktu tempuh kurang lebih 3 menit. Dekat, bukan? Ketimbang kami harus pulang ke Kota Bengkayang dan membatalkan semua agenda yang direncanakan.


Setelah ketemu resepsionis, tanpa harus membayar uang muka dulu atau yang lainnya, kami langsung diarahkan ke sebuah kamar. Untuk harga kamar tentunya bervariasi, tergantung budget dan keinginan kita. Ada yang 350 ribu, 150 ribu bahkan yang 60 ribu. 


Penginapan Malim Sunga


Lokasi kamar kami berada dilantai dasar, atau mesti turun tangga dulu untuk sampai dilokasi. Untuk kamarnya cukup legah, apalagi biaya yang kami keluarkan terbilang murah.


Dengan membayar 150 ribu kira-kira fasilitas apa yang didapat? Ini dia:


  • Sepasang ranjang
  • Sepasang handuk
  • 2 botol air mineral
  • 2 sikat gigi dan pastanya
  • Kipas angin
  • Tv
  • Wifi

Karena harga yang kami ambil standar, tentunya fasilitas yang didapat juga kurang. Seperti kamar mandi diluar, tidak dapat sarapan pagi, kamar tanpa ac. Tapi itu sungguh harga yang betul-betul murah, mengingat lokasi penginapan yang berada dipedalaman dan dekat perbatasan. Apalagi saat itu bisa diinapi 3 orang, tinggal dirempetkan saja ranjangnya.


Oh iya, disini juga ada fasilitas karokean. Dibelakang penginapan juga ada kolam renang alami, yaitu Sungai Malim. Airnya berasal dari puncak gunung tertinggi, tanpa pemutih atau kapurit. Selamat mencoba...

Monday, June 6, 2022

Surgaku Tak Kaya Lagi

Menggunakan tongkat kayu, seorang wanita tua menyusuri kebunnya. Mendatangi satu-persatu pohon  yang hanya menyisahkan ranting. Diwajahnya yang sudah mengeriput, terlihat tetesan air mata. Saya tahu, ada kepedihan yang amat mendalam. Ingin rasanya beliau teriak, marah sejadi-jadinya. Namun diurungkan, karena tak tahu akan ditujukan kemana.


Salah Satu Pohon Durian yang Mati Karena Banjir


Saat itu, akhir bulan Juni 2020, hujan terus mengguyur wilayah Kalimantan Barat. Tidak terkecuali tempat saya, Kecamatan Segedong Kabupaten Mempawah. Alhasil, hanya waktu satu malam daratan mulai digenangi air, alias banjir. Bahkan rumah-rumah penduduk pun tidak luput darinya.


Keadaan banjir pun semakin parah disaat adanya 'banjir kiriman'. Ya, daerah saya topografinya adalah dataran rendah dan juga dibelah oleh sungai. Jadi wajar saja jika di daerah hulu terjadi hujan lebat, maka sedikit-banyaknya kami akan terdampak.


Adanya banjir tersebut tentunya berdampak pada banyak hal, terutama adalah ekonomi. Masyarakat yang sehari-harinya mengaup rezeki, terpaksa harus dihentikan. Terlebih sebagian besar masyarakat profesinya adalah petani yang pastinya tidak akan mendapatkan gaji tetap. Kerja dulu baru mendapatkan hasil.


Banjir yang biasanya akan cepat pergi malah betah untuk berlama-lama. Bahkan sudah lebih satu bulan. Bagaimana nasib masyarakat? Yah pastinya menderita. Adapun bantuan dari pemerintah hanya ditujukan untuk masyarakat yang rumahnya tenggelam. Padahal yang terdampak bukan hanya mereka saja, melainkan semuanya. Sebagian besar masyarakat juga terhenti aktifitas pekerjaanya akibat banjir. Dan pastinya juga mereka membutuhkan makanan untuk kelurganya.


Berbagai spekulasi pun bermunculan. Ada yang bilang, kalau lamanya banjir ini dikarenakan adanya perusahaan dihulu yang tentunya banyak menggarap hutan. Kalian pasti tahu pohon-pohon itu mempunyai manfaat yang besar. Tidak hanya sebagai penghasil oksigen, tetapi juga sebagai penyerap air. Spekulasi yang lainnya adalah di muara Sungai Segedong (Peniti) terjadi pendangkalan. Sehingga mengakibatkan keluarnya air tidak lancar.


Namun sayang, spekulasi diatas sepertinya kurang menarik bagi mereka yang berkuasa. Yang mereka lakukan hanya turun kelapangan untuk meninjau, kemudian membagikan sembako. Disaat jalan-jalan yang semakin tinggi mereka banggakan, eh malah air juga tidak mau kalah tinggi.


Lamanya banjir tidak hanya mematikan ekonomi saat banjir saja, tetapi juga dalam jangka yang panjang. Tanaman-tanaman petani yang lama terendam air menjadi mati. Jika hidup pun tentu tidak akan berbuah maksimal. Malah tidak berbuah. Kalau begini, dari mana masyarakat akan mendapatkan penghidupan untuk kedepannya?


Durian, manggis, rambutan, langsat, cempedak banyak yang mati disaat banjir melanda. Pohon kelapa pun juga terdampak. Hidup, namun tak mampu berbuah seperti biasanya. Padahal itu adalah sumber penghasilan utama bagi sebagian besar masyarakat. Sampan yang biasanya berisi dengan berbagai hasil kebun pun tergantikan dengan kayu kering. Parit yang biasanya banyak orang yang menarik buah kelapa kini berganti kayu hasil tebangan. Sungguh, surgaku tak kaya lagi.


Mungkin ada yang ingin bekata "kalau mati, yah ditanam kembali". Menanam pohon-pohon diatas tidak secepat yang kamu bayangkan kawan! Butuh waktu diatas lima tahun baru bisa merasakan hasilnya. Bahkan pohon durian dan langsat rata-rata berbuah diumur 15 tahunan keatas. Jika ditanam pun belum tentu bisa bebas dari yang namanya banjir.


Enam bulan yang lalu, banjir lebih tinggi dari pada tahun lalu kembali melanda daerah kami. Dia pun lagi dan lagi mumbunuh sisa-sisa pohon kami.


Oh, iya. Nenek-nenek yang meneteskan air mata diatas itu memang betul terjadi. Dan itu hanya salah satu tetesan air mata yang saya ceritakan. Sekarang, dari pagi sampai sore hari, suara gergaji mesin selalu berkumandang. Merobohkan satu-persatu pohon besar kami. Semoga surgaku segera pulih.

Friday, June 3, 2022

Bermalam di Air Terjun Riam Merasap

Berbicara wisata yang ada di Kabupaten Bengkayang tentunya tidak perlu diragukan lagi. Mau wisata apa saja semuanya bisa ditemukan disini. Mulai dari wisata bahari, alam, hingga budayanya semua sudah lengkap. Nah, salah satu tempat yang baru saja saya kunjungi adalah Riam Merasap, air terjun yang bentuknya mirip Niagara Falls di Amerika.


Kayang dengan view Riam Merasap


Perjalanan dilanjutkan kembali setelah beberapa kali sempat berteduh karena hujan. Jalanan yang basah dan kadang licin, membuat kami harus lebih berhati-hati. Terlebih medan yang sedang kami lalui lebih sering naik turun, lalu membelok tanpa ampun. Topografi pedalaman dengan hamparan perbukitan membuat jalur perjalanan sedemikian rupa. Jika hilang kendali, maka bisa saja kami menabrak tebing atau terguling di dipinggir jurang.


Meskipun merupakan jalur provinsi, namun jalanan yang kami lalui tampak begitu lengang. Untuk kendaraan besar yang kami temui boleh dihitung pakai jari. Mungkin jalur ini lebih dikhususkan untuk perjalanan pribadi ketimbang untuk mengangkut barang-barang pergudangan. Atau mungkin saja memang belum waktunya mereka lewat. Tapi syukurlah, dengan sepinya jalan membuat kami lebih legah untuk menikung dibawah kaki bukit. Oh iya, jalur yang kami lewati adalah Anjongan-Toho. Cek juga cerita sebelumnya disini.


Jalanan yang semulanya terang kini mulai gelap ditelannya malam. Disaat itu juga, kami melewati sebuah gerbang yang merupakan pembatas antara Kabupaten Landak dan Kabupaten Bengkayang. Tidak ada waktu lagi untuk mampir berfoto digapura tersebut, apalagi telah berlangsung adat balala'.


Jalanan Bengkayang tidak ada ubahnya dengan jalan-jalan sebelumnya. Naik turun, belok kiri-kanan dengan tebing dan jurang disisinya. Untuk kondisi jalannya jangan ditanyakan lagi, mulus seperti iklan di TV.  Hanya saja melakukan perjalanan malam itu  bagi saya kurang menyerukan. Pertama adalah kita tidak bisa melihat bagaimana pemandangan alam disekitar perjalanan yang dilalui. Kedua adalah ngantuk yang datangnya kadang secara tiba-tiba. Terlebih saat itu saya hanya sendirian, tanpa ada boncengan dibelakang. Tidak ada teman untuk diajak bicara, mau tidak mau nyanyi sendirian.


Meskipun jalanan cukup sepi, namun kehati-hatian dalam berkendaraan mesti tetap diperhatikan. Apalagi kita adalah pengunjung dan belum mengenal medan. Jarak dengan kendaraan didepan juga perlu dijaga, jangan terlalu dekat meskipun mereka adalah rombongan kita. Seperti yang saya alami, saat itu tiba-tiba kendaraan didepan mengerem mendadak. Meskipun jarak saya dengan mereka cukup jauh, namun dikarenakan lokasi yang licin akibat lumpur dari bukit turun mengakibatkan motor oleng. Alhasil saya hampir jatuh dan menabrak mereka.


Selain itu, jalanan yang dilewati sebagian besar adalah perkampungan dengan deretan bangunan penduduk. Rumah mereka betul-betul tidak jauh dari pinggir jalan. Nah, kalau ketemu seperti ini alangkah lebih baiknya kelajuan dikurangkan. Takutnya ada masyarkat setempat yang lagi sedang menyeberang.


Kurang lebih 45 menit perjalanan dari Tikalong (hanya ini nama yang diingat) kami pun tiba disebuah pasar. Beruntung salah satu rekan, Bang Zai, tahu betul seluk beluk Kota Bengkayang sehingga tidak perlu lagi melihat google map atau bertanya kepada nasyarakat. Kendaraan pun menyeberang diatas jembatan, lalu belok masuk diantara bangunan ruko. Ternyata luas juga pasar yang ada di Bengkayang. 


Ini belum akhir perjalanan, untuk sampai di Riam Merasap masih memakan waktu kurang lebih  dua jam.


Sebelum lanjut ke Riam Merasap, kami memutuskan untuk mampir dulu di Masjid Agung Syuhada Bengkayang. Bangunan masjid ini tampak begitu elok dengan desain tempo dulu. Ketimbang masjid perkotaan yang rata-rata bangunannnya sudah modern dan meninggalkan ciri khas awalnya. Entah kenapa, bagi saya bangunan yang mempertahankan tema klasik itu lebih terlihat menarik. Apalagi dibalik berdirinya menyimpan sebuah cerita. Terasnya yang luas juga cocok digunakan untuk istirahat bagi teman-teman yang sedang melakukan perjalanan jauh.


Warung makan pinggiran jalan  juga menjadi tempat persinggahan kami sebelum melanjutkan perjalanan. Selain mengisi kampung tengah, disini juga kami menghabiskan waktu untuk beristirahat sejenak. Terlebih Bang Zai, sebagai seorang jurnalis mesti menulis berita dahulu. Sedangkan saya dan Bang Jono betul-betul memanfaatkan sinyal yang ada untuk bermain sosial media. Mumpung masih ada jaringan sebelum masuk semakin ke pedalaman.


Perjalanan dilanjutkan kembali. Hujan dan gerimis yang sempat menemani perjalanan kami sebelumnya kini berganti dengan cuaca yang lebih bersahabat. Semoga saja tidak ada lagi cerita diguyur hujan. Masih didalam perkotaan, ditengah kegelapan malam terlihat dua tempayan besar berdiri kokoh di sebuah pintu gerbang. Didalamnya tampak sebuah rumah panggung yang tidak terlalu jelas. Mungkin itu merupakan rumah adat Dayak dan akan disinggahi nanti sepulangnya.


Kami menerabas jalanan diantara heningnya malam. Tidak ada pemandangan yang bisa dilihat dalam kegelapan. Bukit dikejauhan yang tampakpun hanya dalam bentuk siluet, entah hijau ditumbuhi pohon atau malah gersang. Semakin jauh meninggalkan kota, semakin berat pula rasanya medan yang dilalui. Jalur semakin naik turun, berkelok-kelok dibawah kaki bukit. Tapi itulah yang membuat perjalanan ini semakin terasa seru.


Sesekali kami berpas-pasan dengan mobil lain yang kadang mengejutkan. Bagaimana tidak? Disaat kami fokus dengan tikungan yang dilalui, eh tiba-tiba saja dia muncul dengan lampu tembak. Sontak membuat pemandangan buyar, jika tidak betul-betul malah kami bisa menyerempet tebing bukit. Semoga saja perjalanan ini tetap aman. 


Oh iya, sebelum melanjutkan perjalanan malam alangkah lebih baiknya untuk memperhatikan beberapa hal. Pertama keadaan stamina dan kedua adalah keadaan bahan bakar. Bukannya apa, kalau sudah malam tentunya sulit untuk mencari penjual bensin. Tidak lucu juga kan harus mendorong kendaraan disaat keadaan jalan yang mendaki. Capek euy...


Perjalanan kembali berhenti saat sampai di Sanggau Ledo (sumpah, dulu kalau dengar nama tempat ini saya kira berada di Kabupaten Sanggau). Kami singgah di indomaret untuk membeli air mineral, persiapan di Air Terjun Merasap. Kata teman, sebenarnya tidak perlu membawa air lagi karena disana sudah melimpah. Namun bagi teman yang satunya lagi mesti dibawa, dengan alasan belum tentu cocok diliur dan perut. Bagi saya sendiri, semuanya tinggal diatur saja mana yang lebih baik. Haha...


Setelah keperluan terpenuhi, perjalanan menuju Riam Merasap kembali dilanjutkan. Ketika sampai dipersimpangan tiga, maka jalur yang dipilih adalah kanan untuk menuju lokasi. Sedangkan jalan yang lurus adalah jalur menuju Jagoi Babang. Kami melewati pasar dengan deretan ruko yang masih tampak klasik. Sepertinya bangunan tersebut dibuat pada tahun 80-an. Ah, sok tahu.


Belum lama meninggalkan pasar sanggau ledo, jalanan yang semula beraspal mulus kini harus berganti dengan jalan bebatuan (jalanan beraspal yang rusak). Tapi terlepas dari itu semua, jalanan yang dilewati ini masih aman dan bersahabat untuk pengunjung. Apalagi kami telah dimanjakan jalan bagus sepanjang ratusan kilo. Rasanya kurang bersyukur saja kalau mengeluh. Tapi kalau jalanan disini diperbaiki lagi itu malah lebih baik.


Selain bunyi percikan batu dan kendaraan, kedatangan kami juga disambut suara binatang-binatang malam. Dari bunyinya terdengar jelas bahwa itu suara burung, sang pengembara ditengah kegelapan. Selain itu terdengar pula ragam jenis suara bangsa jangkrik, dan bunyi selebihnya saya tidak tahu. Kurang lebih 7 kilo perjalanan bebatuan, akhirnya kami sampai di area tujuan, Air Terjun  Riam Merasap. Sekarang suara yang mendominasi adalah suara air terjun.


Belum sempat turun dari kendaraan, sebuah motor tiba-tiba datang mendekati kami. Ah, siapa pula malam-malam begini mendatangi kami. Sebagai pendatang, tentu saja berspekulasi hal yang aneh-aneh sangat wajar. Saya mulai berpikir kalau beliau adalah kelompok preman yang meminta jatah untuk rokok. Atau bisa saja dia adalah perampok yang membawa senjata tajam dan akan menodong kami.


"Akhirnya sampai juga, ya." Orang tersebut menyapa kami, lalu menunjukkan tangan untuk bersalaman.


"Oh, Bang Abum. Iya bang, akhirnya sampai juga. Tadi sempat lama di Bengkayang." Bang Zai menjawab sapaan orang tersebut.

 

Setelah menyalami kami satu-persatu dan sedikit berbincang, Bang Abum lalu mengajak naik keatas, lokasi dimana kami akan berkemah. Sebuah gapura bambu dengan warna dominan merah menyambut kedatangan kami, diiringi suara gemericik air terjun. Diatasnya tergantung sebuah spanduk ucapan selamat datang berukuran 1x2 meter. Tidak perlu lama untuk mendaki, akhirnya kami sampai di sebuah pondok yang sekaligus juga merupakan basecamp Bang Abum.


Saat itu sudah jam 22.40 WIB. Rencana semula yang ingin memasang tenda di pinggiran sungai harus diubah ke sebuah pondok. Ini dikarenakan waktu yang sudah malam dan membuat kami tidak tahu bagaimana bentuk medan di lokasi. Jujur saja, saya masih berharap kalau tenda betul-betul dipasang dialam terbuka, biar kesan camping-nya lebih terasa. Tapi ya sudahlah, mendahulukan keamanan dan keselamatan itu lebih utama.


Demi Pencahayaan


Kami pun menuju ke sebuah pondok yang tak jauh dari pondok sebelumnya. Disini, dan tanpa membuang waktu lagi tenda yang dibawa langsung dipasang. Disisi lain, Bang Abum dan adiknya sibuk mengurus aliran listrik ketempat kami. Entah beberapa kali percobaan dilakukan, mengotak-atik kontak listrik hingga bisa menghidupkan sebuah lampu. Sebenarnya, tanpa adanya cahaya lampu pastinya akan lebih seru untuk tidur dialam bebas. Hanya saja salah satu rekan tidak bisa terlelap jika dalam kegelapan. Baiklah...


Tidak perlu waktu lama, tenda mungil milik kami telah berdiri dengan begitu anggun. Begitu pula hammock juga telah terpasang, terikat kuat ditiang kayu. Sungguh, melihat tenda yang berdiri diatas pondok mengundang tawa. Bagaimana tidak, jauh-jauh melakukan perjalanan ternyata ujung-ujung kemahnya beginian. Dan ini adalah pertama kali saya melakukannya.


Tenda telah berdiri dan lampu telah menyala, sekarang adalah waktunya tidur. Eh salah, maksud saya adalah ngobrol santai sama Bang Abum. Orang yang sebelumnya saya anggap berniat jahat. Mohon maaf bang, ini semua karena efek perjalanan panjang dan kecapean.


Meskipun tidak ditemani kopi, namun obrolan malam itu terasa begitu hangat. Tapi ada beberapa snack dan satu botol besar air mineral. Disini kami semakin kenal dengan Bang Abum, salah satu pengelola dari Riam Merasap. Sosok yang begitu ramah ini ternyata juga merupakan ketua dari PokDarWis, kelompok sadar wisata.


Dari cerita Bang Abum, kami jadi tahu banyak hal mengenai Riam Merasap. Mulai dari asal mula namanya, usaha untuk mempromosikannya hingga bagaimana menjaga kelestarian sekitarnya. Termasuk membongkar bangunan dipinggiran sungai yang dianggap merusak nilai keindahan air terjun itu sendiri. Setelah cukup lama berbincang, bang Abum pamit mengundurkan diri. 


Oh iya, disini juga disediakan penginapan  bagi para pengunjung yang ingin bermalam. Biaya permalam dikenakan tarif sebesar 200.000 rupiah untuk kapasitas maksimal 5 orang. Lalu apa saja fasilitasnya? Disini pastinya tersedia kasur dan kipas angin. Kalau mau merasakan AC tunggu saja saat tengah malam, pendingin alami. Harga segitu itu sudah termasuk murah untuk ditempat wisata yang jauh dipedalaman.


Hadirnya lampu membuat Bang Jono terlihat agak rempong. Entah beberapa kali beliau memindahkan posisi lampu agar posisinya menerangi semua wilayah. Saya yang kurang suka terlalu terang jika tidur dan dia yang tidak bisa dalam kegelapan membuat kami sempat cekcok ringan, lebih tepatnya musyawarah untuk mencapai mufakat. Hingga akhirnya saya mengalah menuruti kemauannya. Atur sajalah, asal jangan lampunya diatas wajah saya.


"Jalan-jalan kebawah yok, Daeng." Bang Zai yang saat itu sedang berayun di hammock mengajak turun kebawah, sungai.


Saya yang saat itu sudah merasa capek tentu saja menolak. Lagian ngapain juga kebawah malam-malam begini, tidak ada yang bisa dilihat. Walaupun ujung-ujungnya kami semua turun gara-gara ingin gosok gigi. Didalam perjalanan, tampak samar-samar jurang yang begitu dalam. Disanalah, letak sebenarnya air Merasap berada. 


Kami kembali kepondok dengan membawa sekantong air, persiapan jika disaat tengah malam tiba-tiba kebelet pipis. Disini pastinya telah disediakan toilet, hanya saja pada saat itu airnya menipis. Takut juga jika saja mendadak ingin boker.


Saya dan Bang Jono memilih tidur didalam tenda, sedangkan Bang Zai memutuskan di hammock. Tidak perlu menunggu lama atau harus dinyanyikan lagu nina bobo, saya sudah terlelap diantara merdunya gemericik air terjun. Tidak peduli seberapa dingin saat itu, kelelahan perjalanan panjang membuat saya begitu nyenyak.


Hingga akhirnya, suara tenda dibuka membuat saya terbangun. Itu adalah Bang Zai yang sudah tidak tahan lagi dengan pendingin alam, makanya dia masuk bergabung dengan kami. Sontak, suara percakapan memenuhi ruangan. Dari sekian percakapan, terdengar jelas keluhan Bang Jono yang tidak bisa tidur sedari awal. Saya yang saat itu ngantuk lebih memilih untuk diam, berusaha untuk melanjutkan tidur yang sempat terputus sebelumnya. Saya tahu, ada sesuatu hal yang sedang dirasakan Bang Jono.


Lagi-lagi saya terlelap dalam tidur. Suara gemericik air terjun dibawah malah sempat dikira hujan lebat. Meskipun tidur terasa cukup nyenyak, bukan berarti suara percakapan didalam tenda hilang begitu saja. Samar-samar, suara keributan sempat terdengar membahas permukaan tenda bagian dalam yang basah. Hei, itu bukan bocor! Melainkan terjadinya peristiwa kondensasai, yaitu perubahan uap atau gas menjadi cair.


Camping ecek-ecek-an


Hingga akhirnya, saya bangun dengan tubuh yang terasa lebih segar. Kau tahu, sampai pagi Bang jono tetap terjaga dari tidurnya.







Wednesday, June 1, 2022

Tradisi Balala': Hampir Dihukum Adat

Diatas bangku panjang sebuah warung, saya selalu melirik kearah jam tangan. Melihat waktu yang seakan-akan cepat sekali berputar. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 17.35 WIB, itu artinya tidak lama lagi akan berlangsung balala', pelarangan semua aktifitas diluar rumah. Sementara diluar sana, hujan terus turun dengan lebatnya, seakan-akan tidak peduli dengan cerita perjalanan kami yang masih panjang. Jangankan untuk berhenti, menurunkan debitnya menjadi gerimis saja tidak ada tanda-tanda. Kalau terus begitu, mau tidak mau kami harus menentukan pilihan. Melanjutkan perjalanan dibawah guyuran hujan atau menetap diperkampungan dengan sanksi adat yang kemungkinan akan diterima.




Sesuai perjanjian, titik perkumpulan untuk melakukan perjalanan ditetapkan di Sungai Pinyuh. Rencana yang semulanya berangkat pagi, harus diubah menjadi bakda jumat dikarenakan ada sesuatu lain hal. Karena domisili saya berada cukup jauh dari tempat pertemuan, saya memutuskan untuk datang lebih awal 2 jam dari waktu yang ditentukan. Bukannya apa, saat itu bertepatan  dengan hari jumat, ada sesuatu kewajiban yang mesti ditunaikan terlebih dahulu.


Sambil menunggu rekan yang lainnya tiba, saya memutuskan untuk makan siang disalah satu tempat makan cepat saji. Selain bisa ngadem dan mengisi kampung tengah, disini juga sekalian menambah daya baterai. Lumayan untuk persiapan dilapangan yang kemungkinan besar tidak ada aliran listrik.


Waktu sudah menunjukkan pukul 13.10 WIB, orang yang ditunggu belum juga menampakkan mancung hidungnya. Saya pun mengirimkan foto digrup perjalanan sekaligus menanyakan sudah dimana? Tidak perlu menunggu lama, salah satu teman membalas kalau beliau akan segera OTW. Mendapat jawaban tersebut saya langsung memutuskan untuk keliling-keliling Sungai Pinyuh dahulu. Menghabiskan bensin cuma-cuma sekaligus menambah pencemaran udara. Ualah...


Disaat enak-enaknya ngadem di supermarket (lebih tepatnya belanja keperluan), tiba-tiba salah satu teman nelpon mengasi kabar kalau dia sudah sampai dilokasi. Ini baru satu teman yang tiba, masih ada rekan yang lain. Untuk ngademnya pun  disambung di sebuah cafe bernama 'lanjut'. Sesuai namanya, cafe tempat kami nongkrong ini seakan-akan memberikan aba-aba ke kami, apakah lajut berangkat atau lanjut pulang. Terlebih saya baru tahu kalau teman yang bilang OTW tadi berangkatnya dari Kubu Raya, bukan Mempawah. Disisi lain, waktu sudah menununjukkan 15.05 WIB.


Ada banyak hal yang saya khawatirkan apabila berangkat terlalu sore. Pertama adalah hujan, dan kedua adalah terlalu malam tiba dilokasi. Terlebih lagi, ada beberapa daerah yang kami lewati akan melakukan prosesi balala'. Bagaimana jadinya jika kendaraan kami tiba-tiba bermasalah didaerah tersebut, dan pastinya tidak ada bengkel yang buka, bukan?


Hingga akhirnya, rekan yang ditunggu telah tiba. Kami berangkat pukul 15.50 WIB, betul-betul bakda jumat.  Tidak perduli lewatnya empat jam atau lebih. Ah sudahlah, yang penting kami semua bisa berangkat. Intinya liburan...


Ada beberapa jalur yang bisa dilewati untuk menuju pusat Kota Bengkayang. Berhubung titik kumpul kami adalah Sungai Pinyuh, maka jalur yang akan dilewati adalah Anjungan-Toho. Setidaknya ada dua kabuten yang akan dilewati sebelum tiba di Bengkayang, yaitu Mempawah dan Landak. Jalur dilewati betul-betul memanjakkan mata. Disepanjang perjalanan bebaris banyak bukit yang begitu elok dengan hamparan padi dibawahnya. Apalagi saat itu matahari mulai turun membuat beberapa petak padi yang duluan masak tampak bercahaya. 


Disepanjang perjalanan, tidak jarang pula kami melihat kumpulan masyarakat yang sedang melakukan prosesi dipinggir jalan. Tidak salah lagi, itu adalah serangkaian upacara adat balala' yang nantinya akan dilaksanakan. 


Jalanan terus mendaki, lalu turun hingga meliuk dibawah kaki bukit. Apa yang ada didepan sana tentu saja tidak tahu. Apakah jalanan lengang atau malah sebaliknya ada kendaraan besar dari arah jalan yang berbeda. Cuaca yang semulanya begitu panas, tiba-tiba terasa dingin menyapu wajah. Kalau sudah begini, biasanya didepan sana sedang turun hujan. terlebih awan hitam yang berarak tampak menyelimuti bukit dikejauhan. Kurang lebih dua menit hujan pun turun mengguyur perjalanan kami.


Kendaraan pun menepi disebuah warung dengan bentuk bangunan ruko. Untunglah dua toko disampingnya tidak buka, sehingga motor kami bisa langsung berteduh diterasnya. Tidak perlu susah lagi untuk menurunkan barang bawaan yang ada dikendaraan. Belum sempat saya turun dari kendaraan, keluar seorang ibu parubaya dengan membawa ikatan berbagai macam daun, lalu mengikatnya ditiang depan.


"Permisi Bu, mohon maaf, apakah masih boleh bertamu jam segini?" Salah satu rekan, Bang Zai bertanya kepada si Ibu pemilik warung.


"Masih boleh, dek." Ibu tersebut menjawab pertanyaan kami dan seakan-akan mengerti bagaimana keaadaan kami sekarang.


"Kalau prosesi balala'nya dimulai jam beberapa ya, Bu?" Bang Zai kembali bertanya.


"Kalau itu mulainya jam enam. Tapi rata-rata rumah disekitar sini sudah ramai yang tutup." Ibu pemilik warung kembali menjelaskan sambil menunjuk rumah yang ada disekitar.


Saya menoleh kearah jam tangan, saat itu waktu sudah menunjukkan Pukul 16.58 WIB. Semoga saja hujan lekas berhenti dan perjalanan bisa segera dilanjutkan kembali. Disini, kami tidak hanya diizinkan untuk berteduh, namun juga disodorkan kursi oleh si Ibu. Padahal kursi teraebut telah tersusun rapi dan tampak jelas kalau warung sebentar lagi akan ditutup. Sungguh baik sekali ibunya.


Tidak ada banyak hal yang bisa dilakukan disini, selain menikmati kerupuk kedelai dan meratapi hujan yang tak kunjung henti. Mau melanjutkan perjalanan pun tidak mungkin, karena jas hujan tinggal dimotor yang satunya. Sinyal pun tidak bersahabat saat itu, semua balok kosong dan hanya menyisakan tanda x diatasnya. Kata teman, kalau sudah masuk pedalaman begini, rata-rata hanya kartu telkomsel yang kuat jaringannya. 


Kurang lebih masih ada satu jam lagi, agar kami tidak mengganggu prosesi adat balala' yang akan diselenggarakan.


Balala' memiliki arti sepi, yaitu melarang segala aktifitas diluar rumah. Saat prosesi ini dilangsungkan maka ada pantangan yang harus dipatuhi. Seperti tidak berpergian, tidak boleh menebang kayu, tidak boleh membunuh hewan dan dilarang menerima tamu. Lalu bagaimana dengan kami yang sedang melakukan perjalanan? Diperbolehkan, selama tidak mampir atau berhenti diwilayah yang sedang melaksanakan adat balalak.


Perjalanan dilanjutkan kembali ketika hujan sudah tidak terlalu lebat, alias gerimis. Sambil berharap juga didepan sana cuaca lebih bersahabat. Yah, meskipun belum terlalu jauh perjalanan harus berhenti lagi, karena tiba-tiba hujan deras mengguyur kembali. Mau tidak mau, kami harus menepi lagi disebuah warung yang ada dipinggir jalan. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 17.25 WIB.


Setelah menurunkan barang bawaan dari kendaraan, kami langsung duduk diemperan warung. Lebih tepatnya di pojok tangga warung. Dari atas bangku, terdengar suara bapak-bapak yang mempersilahkan kami naik, "duduk saja disini, disitu masih kena hujan."


Kami menoleh kearah belakang, membalas senyuman senyuman beliau dengan ramah. Rasanya kurang enak juga menolak kebaikan orang. Saya dan kedua rekan langsung melepaskan sepatu, lalu naik ke warung dan segera duduk diatas bangku panjang.


Dibandingkan warung sebelumnya, warung kedua yang kami singgahi ini tampak begitu apik. Bangunannya yang terbuat dari papan dan berada diantara hamparan ladang membuatnya terlihat elok. Lebih-lebih lagi, disini ada penduduk setempat yang sedang karaokean. Membuat suara hujan lebur diantara melodi lagu.


Meskipun telinga terpaku dengan alunan lagu dan kaki sesekali menepuk-nepuk lantai, namun wajah tak pernah beralih dari arah jalan. Berharap kalau hujan akan segera reda dan perjalanan bisa dilanjutkan. Namun sepertinya hujan kali ini betah untuk berlama-lama. Membasahi bumi intan, julukan dari Kabupaten Landak.


Penduduk kampung yang ada disamping kami sungguh begitu ramah. Sesekali mereka mengajak kami berbicara, menanyakan asal dan kemana tujuan kami. Beliau pun sempat bercerita mengenai adat balalak yang sedang dilaksanakan ini. Terlebih, salah satu dari mereka malah sempat membetulkan standar kendaraan kami yang mulai terbenam diatas tanah kuning. Padahal saat itu sedang hujan deras.


Hujan masih tidak kunjung redah, seakan-akan ingin membatasi petualangan kami hari ini. Disi lain, ada kekhawatiran yang cukup besar jika terlalu lama-lama berada disini. Bukan hanya saja terlalu malam akan tiba, melainkan hukum adat bisa saja mengenai kami. Ah, jangan sampai kami mengganggu prosesi balala' yang akan segera dilaksanakan.


Jam sudah menunjukkan pukul 17.40 WIB. Itu artinya adat balala' sebentar lagi akan berlangsung. Jika sepuluh menit lagi hujan tidak berhenti turun, maka mau tidak mau kami harus melanjutkan perjalanan dibawah guyuran hujan. Meskipun bapak disamping tadi tetap begitu santai dengan kehadiran kami.


Dibawah alunan lagu yang mendayu-dayu, hujan malah terlihat semakin deras. Tetesan-tetesan yang jatuh diatas seng semakin kuat terdengar. Tapi syukurlah, lima menit setelah itu intensitas hujan malah berkurang drastis, menyisakan gerimis. Mungkin tadi adalah cara Tuhan untuk mempercepat hujan. Kami pun melanjutkan kembali perjalanan menuju Bengkayang.

Terimakasih atas tumpangannya, terimakasih atas ceritanya dan terimakasih atas hiburannya.

Friday, May 27, 2022

Nikmatnya Air Gambut

Dipojok kaki, terlantar sebotol minuman mineral yang hampir habis, mungkin hanya tinggal dua tiga teguk lagi. Sedangkan Makanan pedas yang sebelumnya dilahap betul-betul membuat kerongkongan terasa haus. Ah, mana pula cukup minuman segitu untuk menghilangkan dahaga.


Saya pun menoleh kiri kanan, berharap ada air yang bisa diminum. Diatas kepala, tampak beberapa tandan buah kelapa yang begitu menggiurkan. Tapi sayang, pemiliknya tidak ada ditempat. Tidak jauh dari tempat duduk, juga ada air berwarna kuning kemerahan yang mengalir. Tapi apakah air gambut bisa dikonsumsi?


Air Dari Hulu dan Mata Air


Menjadi petugas lapangan disebuah lembaga mengharuskan saya untuk selalu siap ditugaskan dimana saja. Mulai dari pendataan masyarakat yang dilakukan secara door to door, hingga perkembangan tanaman pun mesti diamati. Tidak jarang saya harus keluar masuk kebun hingga hampir sampai dibatas hutan.


Nah karena lokasinya lumayan jauh tentunya untuk kebutuhan logistik mesti dibawa. Yang paling utama adalah minuman, karena itu adalah kebutuhan utama saat kita beraktifitas. Sedangkan makanan lebih menyesuaikan kondisi dilapangan. Apabila lamanya  diatas 6 jam lebih baik dibawa.


Lalu apa hubungannya dengan air gambut, Daeng? Sabar dulu, ini baru mau diceritain.


Makan dialam bebas memang sungguh nikmat. Apalagi dibawah pohon yang rindang dengan sentuhan angin sepoi-sepoi. Tidak peduli lauk ikan asin, asalkan ada nasi dan sambalnya pasti akan habis dilahap. Apalagi penulis membeli nasi bungkus, lengkap dengan ayam goreng dan tempe bacemnya.


Diiringi nyanyian burung dan suara arus air, saya semakin menikmati tiap suapan yang masuk kedalam mulut. Tidak peduli betapa pedasnya sambal yang dirasakan. Tidak peduli juga suara bising nyamuk yang mendekati telinga, saya tetap menikmati piknik kecil tersebut. 


Hingga akhirnya, makanan ditangan telah habis. Rasa pedas yang cukup membakar mulut membuat saya harus segera minum. Tapi, minuman yang dibawa tadi ternyata sudah hampir habis, menyisakan hanya beberapa teguk. Cuaca yang panas dilapangan tadi betul-betul membuat dahaga. Jangankan untuk dilapangan berikutnya, untuk menghilangkan dahaga setelah makan saja tidak cukup.


Saya pun menoleh sana sini, berharap ada warga yang sedang lewat membawa minuman. Atau mungkin ada warung yang bersembunyi dibalik semak-semak. Ah, kalau sudah haus rasanya sulit betul untuk berpikir sehat. Mana pula ada orang yang mau jualan dihujung kebun, kecuali Mbak Kunti.


Tidak jauh dari tempat duduk, terlihat beberapa tandan buah kelapa yang sedang menggantung. Amboi, bukankah begitu nikmat jika disaat cuaca panas meminum airnya. Baru di petik dari pohonnya pula. Tapi tunggu, itu bukan milik kita, kawan!


Saya pun beranjak dari tempat duduk, menuju sumber suara gemericik air. Disana, didalam parit buatan warga, mengalir air berwarna kuning kemerahan. Itu adalah air gambut atau kami sering menyebutnya air hutan. 


Meskipun tidak berwarna putih, namun air tersebut bersih dan tidak keruh. Hanya warnanya saja yang berbeda. Air tersebut berasal dari hulu daratan dan mengalir hingga ke hilir. Selain itu, disekitar parit juga terdapat mata air yang selalu mengeluarkan air, dan akan semakin kencang disaat musim penghujan.


Airnya sungguh terasa sejuk saat saya mengulurkan tangan. Tak perlu menunggu lama, saya langsung meminumnya menggunakan tangan. Siapa pula yang tahan berlama-lama menahan haus. Airnya sungguh terasa segar, sama seperti air minum lainnya yang terasa tawar. Sungguh terasa nikmat disaat matahari teriknya membara.


Tidak perlu takut bila mengkonsumsi  air gambut. Penulis ingat betul, dulu disaat penduduk kekurangan air minum maka air inilah yang akan digunakan. Mereka menggunakan sampan menuju hulu sungai dan pulang dengan jerigen berisi air. Alhamdulillah, mereka tetap sehat-sehat saja. Cuma yang mesti dipastikan adalah air tersebut mengalir dan tidak ada aktivitas pencemaran lingkungan.


Ada yang pernah mencoba air gambut?

Sunday, May 22, 2022

Segedong: Naik Sampan Hingga Nongkrong di Lokale

Jika anda bicara Segedong, pasti akan ada banyak kisah yang diceritakan. Mulai dari transportasi air yang hilir-mudik disungai, keragaman budaya yang begitu harmonis, hingga kebakaran pasar segedong pada tahun 2015 silam. Semua terekam jelas dalam jejak pikiran, merangkai sebuah alur yang sulit dilupakan.

Reuni Kecil IPA12


Saat itu, pukul 20.15 WIB. Dilayar handphon, tampak pesan masuk dari seorang teman. Sebut saja namanya Icak, teman cewek saat masa SMA dulu, mengajak untuk ketemuan bersama angkatan IPA12 lainnya. Meskipun sudah lama tidak jumpa, namun komunikasi kami di dunia maya tidak pernah putus. 


Sebenarnya agak berat untuk menuruti kemauannya. Selain hari yang sudah malam dan jarak yang cukup jauh (mesti melewat jalan kecil dan sepi tanpa rumah sepanjang 3km) namun juga karena ada teman yang sedang bertamu. Apalagi saat itu kendaraan dipakai abang, jadi mesti menyusul dulu baru bisa menggunakan. 


"Ayoklah, besok udah mau balek. Bile agik nak ngumpol?" Sebuah pesan kembali masuk. Menerima tulisan tersebut betul-betul membuat beban moral bagi saya. Bagaimana tidak? Seorang teman yang datang dari jauh sudah merelakan waktunya untuk berjumpa. Lah saya? Masih antara 'iya' dan 'tidak' untuk memenuhi kemauannya.


Hingga akhirnya saya mengaminkan permintaannya. Jam 21.20 WIB beranjak menuju Lokale, tempat yang telah dijanjikan. Kendaraan melaju cukup kencang, melewati seribu jembatan, bahkan kuburan yang hanya selangkah dari bibir jalan. 


Betapa senangnya ketika sampai dilokasi. Bukan! Bukan karena telah berhasil melalui jalanan kecil dengan seribu jembatan, melainkan karena bisa jumpa dengan teman lama. Yah, meskipun tidak semuanya bisa turut hadir. Kami semua maklum, karena masing-masing tentunya punya kehidupan masing-masing dan hal yang diprioritaskan.


Kami pun saling berjabat tangan dan saling menanyakan kabar. Lalu duduk dan saling berbincang mengenai segala tema. Dari kejadian sekarang, masa lalu hingga rencana kehidupan dimasa depan. Witz...


Singkat cerita, perbincangan mengarah pada perkembangan Segedong yang sekarang. Siapa sangka kalau tempat yang katanya jauh dan ujungnya buntu kini bisa punya tempat nongkrong yang kekinian. Apalagi Lokale adalah brand lokal Pontianak yang terkenal. Rasanya masih belum percaya kalau mereka mau buka cabang disini.


Padahal, dulu Segedong adalah wilayah yang masih bisa dikatakan cukup terisolir. Untuk pergi ke kampung sebelah saja kebanyakan menggunakan jalur air. Adapun jalur darat, hanya berupa jalan setapak untuk pejalan kaki. Jika barang bawaan banyak maka terpaksa menggunakan sampan atau motor air.


Namun, dari tahun ke tahun, Segedong semakin berbenah. Jalan yang sebelumnya hanya setapak mulai berubah menjadi jalan beton. Yah, meskipun lebarnya hanya 1 meter, bahkan ada yang kurang dari itu. Kendaraan sepeda mulai banyak digunakan, terutama adalah anak-anak sekolah.


Sekarang, jalan-jalan dipelosok Segedong semakin lebar. Bahkan satu dua orang dikampung pun telah memiliki mobil pribadi. Jalur air yang dulunya sering dilewati, kini perlahan mulai dilupakan. Akibatnya sungai atau parit menjadi dangkal bahkan telah dipenuhi rumput liar.

 

Nah, kalau sudah seru ngobrol dengan teman, jangan lupa untuk memesan minuman, biar tenggorokan tidak kering. Kalau di lokale ada dua minuman yang menjadi favorit penulis, yaitu kopi susu light dan macchiato. 


Syahdan, kami semua pun nostalgia dengan kenangan masa lalu yang tak bisa di lupakan. Saat itu, kami semua sedang akan berkunjung kerumah teman yang ada di Kelapa Tinggi. Karena lokasinya cukup jauh untuk berjalan kaki, kami pun mencari tumpangan transportasi air yang ada di pasar.


Dipasar lama, kami menumpang abut-abut (sampan bermesin) yang bisa memuat delapan orang. Satu persatu naik, hingga yang naik terakhir adalah seorang teman dengan berat badan diatas rata-rata. Karena ia naik dengan sedikit melompat, membuat lantainya patah. Sontak kami yang ada disana langsung tertawa.  Beruntung hanya lantainya yang jebol. Kalau badan abut-abutnya, pasti kami akan tenggelam semua.


Dulu, kalau mau nongkrong sekaligus ngopi palingan yang dituju adalah "warung kopi Mak Nya" yang tersebar di pasar Segedong. Sedangkan sekarang sudah banyak pilihan, salah satunya adalah Lokale. Selain minumannya yang lebih kekinian, jaringan wifinya yang lebih kuat membuat tempat yang satu ini ramai diserbu kaula muda.


Tempat Diskusi Mengenai Tugas Juga OK


Kini, tak payah lagi menunggu motor air lewat agar bisa pergi ke Pasar Segedong. Sekarang pun, tidak perlu lagi mesti jauh-jauh ke Pontianak atau Mempawah hanya sekedar mencari tempat nongkrong. Karena di Segedong sudah banyak tempat nyantai yang seru. Di Lokale, saya pribadi lebih senang nyantai dibagian hujung, yang ruangannya semi terbuka.

Besok lusa, mungkin saja ada lagi brand terkenal yang buka cabang disini. Terlebih katanya, di Segedong akan dibangun jalan yang akan tembus langsung ke Kabupaten Landak. Pastinya pembangunan di Kecamatan Segedong akan semakin pesat.

Tabe'...

Friday, May 20, 2022

Sigajang Laleng Lipa Pada Masyarakat Bugis

Dua sosok itu saling tatap dengan penuh amarah. Didalam kain, arena yang begitu sempit mereka saling adu kekuatan. Bahkan, masing-masing mencabut kawali, badik Bugis yang begitu sakral. Setelah beradu sengit, satu diantara mereka jatuh bersimbah darah. Sigajang Laleng Lipa, itulah sebutan untuknya. Pertarungan didalam kain yang akan dilakukan ini ketika musyawarah mengalami jalan buntu.


Atraksi Seni Sigajang Laleng Lipa 
Oleh masyarakat Bugis di Tanah Rantau


Saat itu sudah pukul 11.30 WIB, acara mappabotting atau akad nikah sebentar lagi akan selesai. Tenda yang begitu panjang penuh dengan para tamu sungguh terasa panas. Apalagi disekelilingnya ditutup terpal dan baru selesai makan membuat keringat terasa mengalir deras dibadan.


Disana, dipertengahan lorong tenda tampak serombongan orang datang dengan memakai atribut Bugis. Satu orang diantara mereka, sambil memegang mic memberikan abah-abah agar dibagian tengah dikosongkan. Terlebih mesti jauh dari jangkauan anak-anak. Tak lama, pemandu tersebut mengatakan bahwa akan diadakan atraksi sigajang laleng lipa.


Sontak, hal tersebut langsung memancing perhatian para tamu. Yang jauh pada mendekat dan yang dekat pada merapat. Bahkan yang sedang makan pun mempercepat gerakan, takut jika tidak bisa menyaksikan. Hanya hitungan menit, rombongan tadi telah hilang dikerumun massa, menyisakan suara yang bergema di lorong tenda.


Karena tak ada yang bisa dilihat, saya pun memutuskan untuk berdiri, merengsek menuju kerumunan tersebut. Perlahan-lahan menyelip diantara himpitan para tamu agar bisa melihat arena. Hingga akhirnya, tampak dua orang berpakaian merah dan menggunakan passapu' dikepala. Mereka dimasukkan kedalam kain yang berwarna putih yang nantinya menjadi tempat untuk bertarung.


Sebelum dilaksanakan atraksi sigajang laleng lipa, tentunya semua para peserta, baik itu yang bertarung hingga para penabuh gendang sebelumnya dilakukan ritual terlebih dahulu. Hal ini bertujuan agar kegiatan yang akan dilaksanakan kedepannya berjalan lancar. Tidak lupa juga, do'a kepada Tuhan dipanjatkan, Sang Pemilik Segalanya.


Atraksi pun segera dimulai. Pemandu meneriakkan jargon "FKOB..." Kemudian disambut yang lainnya dengan jawaban "ewako..." Sebuah kalimat penyemangat bagi orang-orang Bugis.


Alat-alat musik pun dimainkan. Kedua petarung saling menyilangkan tangan, tanda bahwa prosesi akan segera dimulai. Perlahan-lahan mereka mulai beradu, saling memukul saling memukul. Tidak hanya kekuatan tangan yang pusatkan, kekuatan kaki juga mesti dipertahankan, agar badan tetap selalu seimbang. Terlebih ketika mengalami serangan dari pihak lawan.


Sigajang laleng lipa berasal dari bahasa Bugis, yang berarti saling tikam didalam sarung, atau bahasa halusnya 'bertarung didalam sarung.' Dengan menggunakan kawali, mereka akan saling menghunus hingga sampai akhir perjuangan. Mereka akan dinyatakan kalah apabila keluar dari dalam kain, menyerah, hingga meninggal dunia.


Dulunya, sigajang laleng lipa dilakukan oleh para bangsawan. Perhelatan ini dilaksanakan ketika antara dua insan yang bersengketa tidak menemukan jalan keluar dari sebuah masalah. Karena saling mempertahankan siri' atau harga diri, akhirnya duel dalam sarung diadakan.


Sigajang laleng lipa tentunya tidak sembarangan saja dilakukan. Untuk sampai ke titik ini tentunya ada tahap-tahap yang mesti dilewati. Bagi masyarakat Bugis dalam penyelesaian masalah ada tiga cara yang lebih dikenal dengan tellu cappa' (tiga ujung). 


Yang pertama adalah cappa' lilla, atau ujung lidah. Cara ini adalah cara umum yang sering dilakukan dalam penyelesaian masalah. Disini kedua belah pihak yang bertikai akan berbincang untuk mencapai mufakat. Baik itu perundingan, negosiasi ataupun musyawarah.


Kedua adalah cappa laso, atau ujung kemaluan. Jalan ini ditempuh ketika jalan pertama menuai kebuntuan. Bagi masyarakat Bugis, memiliki seorang gadis adalah seperti memiliki permata yang begitu berharga. Sehingga dengan jalur pernikahan ini bisa mempersatukan mereka dalam ikatan keluarga.


Ketiga adalah cappa kawali, atau ujung badik. cara ini adalah pilihan terakhir ketika kedua opsi diatas tidak bisa diselesaikan dengan bijaksana. Disinilah, dua orang yang bertikai akan bertarung menggunakan badik. 


Penggunaan sarung sebagai sarana sekaligus arena tentunya memiliki makna yang begitu dalam. Diharapkan, semua permasalahan yang telah masuk kedalam sarung pantang untuk dibahas lagi diluar. Semuanya telah berkahir didalam sarung. Terlebih, bagi masyarakat Bugis sarung adalah simbol pemersatuan. 


Kedua petarung tersebut pun semakin gesit beradu. Hingga akhirnya, masing masing menarik kawali dalam sarung. Ruangan makin terasa hening disaat salah satu melancarkan serangan. Terlebih, suara teriakan ibu-ibu yang terkejut dan diiringi alat musik semakin membuat mencekap.


Setelah berduel cukup lama, dan darah pun sudah tampak muncrat dikain, akhirnya satu diantara mereka tumbang. Sedangkan yang satunya menganngkat kawali, bukti bahwa dia adalah pemenang. Sekejap, pihak panitia segera membawa petarung yang kalah didalam rumah.


Sekedar informasi, sigajang laleng lipa yang dilakukan diatas hanyalah sekedar atraksi yang dilakukan oleh PAC Forum Komunikasi Orang Bugis Desa Kuala Dua. Jika dulunya hal tersebut begitu sakral dilakukan, maka untuk sekarang sigajang laleng lipa lebih ditampilkan sebagai seni.