Showing posts with label Budaya. Show all posts
Showing posts with label Budaya. Show all posts

Wednesday, June 1, 2022

Tradisi Balala': Hampir Dihukum Adat

Diatas bangku panjang sebuah warung, saya selalu melirik kearah jam tangan. Melihat waktu yang seakan-akan cepat sekali berputar. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 17.35 WIB, itu artinya tidak lama lagi akan berlangsung balala', pelarangan semua aktifitas diluar rumah. Sementara diluar sana, hujan terus turun dengan lebatnya, seakan-akan tidak peduli dengan cerita perjalanan kami yang masih panjang. Jangankan untuk berhenti, menurunkan debitnya menjadi gerimis saja tidak ada tanda-tanda. Kalau terus begitu, mau tidak mau kami harus menentukan pilihan. Melanjutkan perjalanan dibawah guyuran hujan atau menetap diperkampungan dengan sanksi adat yang kemungkinan akan diterima.




Sesuai perjanjian, titik perkumpulan untuk melakukan perjalanan ditetapkan di Sungai Pinyuh. Rencana yang semulanya berangkat pagi, harus diubah menjadi bakda jumat dikarenakan ada sesuatu lain hal. Karena domisili saya berada cukup jauh dari tempat pertemuan, saya memutuskan untuk datang lebih awal 2 jam dari waktu yang ditentukan. Bukannya apa, saat itu bertepatan  dengan hari jumat, ada sesuatu kewajiban yang mesti ditunaikan terlebih dahulu.


Sambil menunggu rekan yang lainnya tiba, saya memutuskan untuk makan siang disalah satu tempat makan cepat saji. Selain bisa ngadem dan mengisi kampung tengah, disini juga sekalian menambah daya baterai. Lumayan untuk persiapan dilapangan yang kemungkinan besar tidak ada aliran listrik.


Waktu sudah menunjukkan pukul 13.10 WIB, orang yang ditunggu belum juga menampakkan mancung hidungnya. Saya pun mengirimkan foto digrup perjalanan sekaligus menanyakan sudah dimana? Tidak perlu menunggu lama, salah satu teman membalas kalau beliau akan segera OTW. Mendapat jawaban tersebut saya langsung memutuskan untuk keliling-keliling Sungai Pinyuh dahulu. Menghabiskan bensin cuma-cuma sekaligus menambah pencemaran udara. Ualah...


Disaat enak-enaknya ngadem di supermarket (lebih tepatnya belanja keperluan), tiba-tiba salah satu teman nelpon mengasi kabar kalau dia sudah sampai dilokasi. Ini baru satu teman yang tiba, masih ada rekan yang lain. Untuk ngademnya pun  disambung di sebuah cafe bernama 'lanjut'. Sesuai namanya, cafe tempat kami nongkrong ini seakan-akan memberikan aba-aba ke kami, apakah lajut berangkat atau lanjut pulang. Terlebih saya baru tahu kalau teman yang bilang OTW tadi berangkatnya dari Kubu Raya, bukan Mempawah. Disisi lain, waktu sudah menununjukkan 15.05 WIB.


Ada banyak hal yang saya khawatirkan apabila berangkat terlalu sore. Pertama adalah hujan, dan kedua adalah terlalu malam tiba dilokasi. Terlebih lagi, ada beberapa daerah yang kami lewati akan melakukan prosesi balala'. Bagaimana jadinya jika kendaraan kami tiba-tiba bermasalah didaerah tersebut, dan pastinya tidak ada bengkel yang buka, bukan?


Hingga akhirnya, rekan yang ditunggu telah tiba. Kami berangkat pukul 15.50 WIB, betul-betul bakda jumat.  Tidak perduli lewatnya empat jam atau lebih. Ah sudahlah, yang penting kami semua bisa berangkat. Intinya liburan...


Ada beberapa jalur yang bisa dilewati untuk menuju pusat Kota Bengkayang. Berhubung titik kumpul kami adalah Sungai Pinyuh, maka jalur yang akan dilewati adalah Anjungan-Toho. Setidaknya ada dua kabuten yang akan dilewati sebelum tiba di Bengkayang, yaitu Mempawah dan Landak. Jalur dilewati betul-betul memanjakkan mata. Disepanjang perjalanan bebaris banyak bukit yang begitu elok dengan hamparan padi dibawahnya. Apalagi saat itu matahari mulai turun membuat beberapa petak padi yang duluan masak tampak bercahaya. 


Disepanjang perjalanan, tidak jarang pula kami melihat kumpulan masyarakat yang sedang melakukan prosesi dipinggir jalan. Tidak salah lagi, itu adalah serangkaian upacara adat balala' yang nantinya akan dilaksanakan. 


Jalanan terus mendaki, lalu turun hingga meliuk dibawah kaki bukit. Apa yang ada didepan sana tentu saja tidak tahu. Apakah jalanan lengang atau malah sebaliknya ada kendaraan besar dari arah jalan yang berbeda. Cuaca yang semulanya begitu panas, tiba-tiba terasa dingin menyapu wajah. Kalau sudah begini, biasanya didepan sana sedang turun hujan. terlebih awan hitam yang berarak tampak menyelimuti bukit dikejauhan. Kurang lebih dua menit hujan pun turun mengguyur perjalanan kami.


Kendaraan pun menepi disebuah warung dengan bentuk bangunan ruko. Untunglah dua toko disampingnya tidak buka, sehingga motor kami bisa langsung berteduh diterasnya. Tidak perlu susah lagi untuk menurunkan barang bawaan yang ada dikendaraan. Belum sempat saya turun dari kendaraan, keluar seorang ibu parubaya dengan membawa ikatan berbagai macam daun, lalu mengikatnya ditiang depan.


"Permisi Bu, mohon maaf, apakah masih boleh bertamu jam segini?" Salah satu rekan, Bang Zai bertanya kepada si Ibu pemilik warung.


"Masih boleh, dek." Ibu tersebut menjawab pertanyaan kami dan seakan-akan mengerti bagaimana keaadaan kami sekarang.


"Kalau prosesi balala'nya dimulai jam beberapa ya, Bu?" Bang Zai kembali bertanya.


"Kalau itu mulainya jam enam. Tapi rata-rata rumah disekitar sini sudah ramai yang tutup." Ibu pemilik warung kembali menjelaskan sambil menunjuk rumah yang ada disekitar.


Saya menoleh kearah jam tangan, saat itu waktu sudah menunjukkan Pukul 16.58 WIB. Semoga saja hujan lekas berhenti dan perjalanan bisa segera dilanjutkan kembali. Disini, kami tidak hanya diizinkan untuk berteduh, namun juga disodorkan kursi oleh si Ibu. Padahal kursi teraebut telah tersusun rapi dan tampak jelas kalau warung sebentar lagi akan ditutup. Sungguh baik sekali ibunya.


Tidak ada banyak hal yang bisa dilakukan disini, selain menikmati kerupuk kedelai dan meratapi hujan yang tak kunjung henti. Mau melanjutkan perjalanan pun tidak mungkin, karena jas hujan tinggal dimotor yang satunya. Sinyal pun tidak bersahabat saat itu, semua balok kosong dan hanya menyisakan tanda x diatasnya. Kata teman, kalau sudah masuk pedalaman begini, rata-rata hanya kartu telkomsel yang kuat jaringannya. 


Kurang lebih masih ada satu jam lagi, agar kami tidak mengganggu prosesi adat balala' yang akan diselenggarakan.


Balala' memiliki arti sepi, yaitu melarang segala aktifitas diluar rumah. Saat prosesi ini dilangsungkan maka ada pantangan yang harus dipatuhi. Seperti tidak berpergian, tidak boleh menebang kayu, tidak boleh membunuh hewan dan dilarang menerima tamu. Lalu bagaimana dengan kami yang sedang melakukan perjalanan? Diperbolehkan, selama tidak mampir atau berhenti diwilayah yang sedang melaksanakan adat balalak.


Perjalanan dilanjutkan kembali ketika hujan sudah tidak terlalu lebat, alias gerimis. Sambil berharap juga didepan sana cuaca lebih bersahabat. Yah, meskipun belum terlalu jauh perjalanan harus berhenti lagi, karena tiba-tiba hujan deras mengguyur kembali. Mau tidak mau, kami harus menepi lagi disebuah warung yang ada dipinggir jalan. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 17.25 WIB.


Setelah menurunkan barang bawaan dari kendaraan, kami langsung duduk diemperan warung. Lebih tepatnya di pojok tangga warung. Dari atas bangku, terdengar suara bapak-bapak yang mempersilahkan kami naik, "duduk saja disini, disitu masih kena hujan."


Kami menoleh kearah belakang, membalas senyuman senyuman beliau dengan ramah. Rasanya kurang enak juga menolak kebaikan orang. Saya dan kedua rekan langsung melepaskan sepatu, lalu naik ke warung dan segera duduk diatas bangku panjang.


Dibandingkan warung sebelumnya, warung kedua yang kami singgahi ini tampak begitu apik. Bangunannya yang terbuat dari papan dan berada diantara hamparan ladang membuatnya terlihat elok. Lebih-lebih lagi, disini ada penduduk setempat yang sedang karaokean. Membuat suara hujan lebur diantara melodi lagu.


Meskipun telinga terpaku dengan alunan lagu dan kaki sesekali menepuk-nepuk lantai, namun wajah tak pernah beralih dari arah jalan. Berharap kalau hujan akan segera reda dan perjalanan bisa dilanjutkan. Namun sepertinya hujan kali ini betah untuk berlama-lama. Membasahi bumi intan, julukan dari Kabupaten Landak.


Penduduk kampung yang ada disamping kami sungguh begitu ramah. Sesekali mereka mengajak kami berbicara, menanyakan asal dan kemana tujuan kami. Beliau pun sempat bercerita mengenai adat balalak yang sedang dilaksanakan ini. Terlebih, salah satu dari mereka malah sempat membetulkan standar kendaraan kami yang mulai terbenam diatas tanah kuning. Padahal saat itu sedang hujan deras.


Hujan masih tidak kunjung redah, seakan-akan ingin membatasi petualangan kami hari ini. Disi lain, ada kekhawatiran yang cukup besar jika terlalu lama-lama berada disini. Bukan hanya saja terlalu malam akan tiba, melainkan hukum adat bisa saja mengenai kami. Ah, jangan sampai kami mengganggu prosesi balala' yang akan segera dilaksanakan.


Jam sudah menunjukkan pukul 17.40 WIB. Itu artinya adat balala' sebentar lagi akan berlangsung. Jika sepuluh menit lagi hujan tidak berhenti turun, maka mau tidak mau kami harus melanjutkan perjalanan dibawah guyuran hujan. Meskipun bapak disamping tadi tetap begitu santai dengan kehadiran kami.


Dibawah alunan lagu yang mendayu-dayu, hujan malah terlihat semakin deras. Tetesan-tetesan yang jatuh diatas seng semakin kuat terdengar. Tapi syukurlah, lima menit setelah itu intensitas hujan malah berkurang drastis, menyisakan gerimis. Mungkin tadi adalah cara Tuhan untuk mempercepat hujan. Kami pun melanjutkan kembali perjalanan menuju Bengkayang.

Terimakasih atas tumpangannya, terimakasih atas ceritanya dan terimakasih atas hiburannya.

Friday, May 20, 2022

Sigajang Laleng Lipa Pada Masyarakat Bugis

Dua sosok itu saling tatap dengan penuh amarah. Didalam kain, arena yang begitu sempit mereka saling adu kekuatan. Bahkan, masing-masing mencabut kawali, badik Bugis yang begitu sakral. Setelah beradu sengit, satu diantara mereka jatuh bersimbah darah. Sigajang Laleng Lipa, itulah sebutan untuknya. Pertarungan didalam kain yang akan dilakukan ini ketika musyawarah mengalami jalan buntu.


Atraksi Seni Sigajang Laleng Lipa 
Oleh masyarakat Bugis di Tanah Rantau


Saat itu sudah pukul 11.30 WIB, acara mappabotting atau akad nikah sebentar lagi akan selesai. Tenda yang begitu panjang penuh dengan para tamu sungguh terasa panas. Apalagi disekelilingnya ditutup terpal dan baru selesai makan membuat keringat terasa mengalir deras dibadan.


Disana, dipertengahan lorong tenda tampak serombongan orang datang dengan memakai atribut Bugis. Satu orang diantara mereka, sambil memegang mic memberikan abah-abah agar dibagian tengah dikosongkan. Terlebih mesti jauh dari jangkauan anak-anak. Tak lama, pemandu tersebut mengatakan bahwa akan diadakan atraksi sigajang laleng lipa.


Sontak, hal tersebut langsung memancing perhatian para tamu. Yang jauh pada mendekat dan yang dekat pada merapat. Bahkan yang sedang makan pun mempercepat gerakan, takut jika tidak bisa menyaksikan. Hanya hitungan menit, rombongan tadi telah hilang dikerumun massa, menyisakan suara yang bergema di lorong tenda.


Karena tak ada yang bisa dilihat, saya pun memutuskan untuk berdiri, merengsek menuju kerumunan tersebut. Perlahan-lahan menyelip diantara himpitan para tamu agar bisa melihat arena. Hingga akhirnya, tampak dua orang berpakaian merah dan menggunakan passapu' dikepala. Mereka dimasukkan kedalam kain yang berwarna putih yang nantinya menjadi tempat untuk bertarung.


Sebelum dilaksanakan atraksi sigajang laleng lipa, tentunya semua para peserta, baik itu yang bertarung hingga para penabuh gendang sebelumnya dilakukan ritual terlebih dahulu. Hal ini bertujuan agar kegiatan yang akan dilaksanakan kedepannya berjalan lancar. Tidak lupa juga, do'a kepada Tuhan dipanjatkan, Sang Pemilik Segalanya.


Atraksi pun segera dimulai. Pemandu meneriakkan jargon "FKOB..." Kemudian disambut yang lainnya dengan jawaban "ewako..." Sebuah kalimat penyemangat bagi orang-orang Bugis.


Alat-alat musik pun dimainkan. Kedua petarung saling menyilangkan tangan, tanda bahwa prosesi akan segera dimulai. Perlahan-lahan mereka mulai beradu, saling memukul saling memukul. Tidak hanya kekuatan tangan yang pusatkan, kekuatan kaki juga mesti dipertahankan, agar badan tetap selalu seimbang. Terlebih ketika mengalami serangan dari pihak lawan.


Sigajang laleng lipa berasal dari bahasa Bugis, yang berarti saling tikam didalam sarung, atau bahasa halusnya 'bertarung didalam sarung.' Dengan menggunakan kawali, mereka akan saling menghunus hingga sampai akhir perjuangan. Mereka akan dinyatakan kalah apabila keluar dari dalam kain, menyerah, hingga meninggal dunia.


Dulunya, sigajang laleng lipa dilakukan oleh para bangsawan. Perhelatan ini dilaksanakan ketika antara dua insan yang bersengketa tidak menemukan jalan keluar dari sebuah masalah. Karena saling mempertahankan siri' atau harga diri, akhirnya duel dalam sarung diadakan.


Sigajang laleng lipa tentunya tidak sembarangan saja dilakukan. Untuk sampai ke titik ini tentunya ada tahap-tahap yang mesti dilewati. Bagi masyarakat Bugis dalam penyelesaian masalah ada tiga cara yang lebih dikenal dengan tellu cappa' (tiga ujung). 


Yang pertama adalah cappa' lilla, atau ujung lidah. Cara ini adalah cara umum yang sering dilakukan dalam penyelesaian masalah. Disini kedua belah pihak yang bertikai akan berbincang untuk mencapai mufakat. Baik itu perundingan, negosiasi ataupun musyawarah.


Kedua adalah cappa laso, atau ujung kemaluan. Jalan ini ditempuh ketika jalan pertama menuai kebuntuan. Bagi masyarakat Bugis, memiliki seorang gadis adalah seperti memiliki permata yang begitu berharga. Sehingga dengan jalur pernikahan ini bisa mempersatukan mereka dalam ikatan keluarga.


Ketiga adalah cappa kawali, atau ujung badik. cara ini adalah pilihan terakhir ketika kedua opsi diatas tidak bisa diselesaikan dengan bijaksana. Disinilah, dua orang yang bertikai akan bertarung menggunakan badik. 


Penggunaan sarung sebagai sarana sekaligus arena tentunya memiliki makna yang begitu dalam. Diharapkan, semua permasalahan yang telah masuk kedalam sarung pantang untuk dibahas lagi diluar. Semuanya telah berkahir didalam sarung. Terlebih, bagi masyarakat Bugis sarung adalah simbol pemersatuan. 


Kedua petarung tersebut pun semakin gesit beradu. Hingga akhirnya, masing masing menarik kawali dalam sarung. Ruangan makin terasa hening disaat salah satu melancarkan serangan. Terlebih, suara teriakan ibu-ibu yang terkejut dan diiringi alat musik semakin membuat mencekap.


Setelah berduel cukup lama, dan darah pun sudah tampak muncrat dikain, akhirnya satu diantara mereka tumbang. Sedangkan yang satunya menganngkat kawali, bukti bahwa dia adalah pemenang. Sekejap, pihak panitia segera membawa petarung yang kalah didalam rumah.


Sekedar informasi, sigajang laleng lipa yang dilakukan diatas hanyalah sekedar atraksi yang dilakukan oleh PAC Forum Komunikasi Orang Bugis Desa Kuala Dua. Jika dulunya hal tersebut begitu sakral dilakukan, maka untuk sekarang sigajang laleng lipa lebih ditampilkan sebagai seni.

Wednesday, July 15, 2020

Mengenal Tradisi Mattampung, Acara Setelah Kematian

Budaya dan tradisi Mattampung. Malam itu sungguh terasa syahdu. Lantunan ayat suci Al-Quran memenuhi langit-langit ruangan yang ukurannya tidak seberapa. Disana, berkumpul para tetangga dan sanak keluarga yang turut mendoakan. Semoga almarhumah dilimpahkan rahmat dari Yang Maha Kuasa.

Tanpa ada perlawanan, kambing menurut saja ketika dibawa ke pohon manggis. Yah, meskipun kadang kambingnya sering mengembek. Namun menurut saya itu adalah cara komunikasinya, yang tentu saja tidak dipahami oleh manusia. Namun jika dikira-kira, mungkin dia lagi sedang bertanya ‘mau dibawa kemana saya? Mau diapakan saya? Tolong dilepasin dulu ikatan lehernya! Please help me...’ Kurang lebih begitu.

Saat itu matahari baru sepenggalah naik. Saya dan beberapa orang tua sedang berkumpul dibawah rindangnya pohon manggis. Bukan! Bukan lagi panen buah manggis atau sekedar melindungi diri dari terpaan matahari, melainkan akan menyembelih kambing. Penyembelihan tersebut dilakukan karena sebentar lagi akan diadakannya acara mattampung.

Apa itu Mattampung? Kata mattampung berasal dari bahasa Bugis yang memiliki arti mengganti atau memperbaiki. Adapun objek yang diperbaiki adalah kuburan keluarga yang telah meninggal sehingga tampak lebih baik. Oh, iya. Mattampung ini boleh dilakukan kapan saja setelah keluarga merasa sanggup. Biasanya dilakukan setelah 7 hari kematian, 40 hari, 100 hari, setahun ataupun tahun-tahun berikutnya (hitungan menggunakan kalender hijriah).

Dalam tradisi Mattampung juga dilaksanakannya penyembelihan hewan. Hewan yang biasanya disembelih adalah sapi atau kambing. Katanya, hewan yang dikurbankan nantinya akan menjadi kendaraan bagi orang yang telah meninggal. Dengan kata lain, daging kambing yang nantinya disajikan kepada orang lain akan menjadi kiriman amal bagi almarhum/ah yang bersangkutan.

Kambing pun siap untuk disembelih. Sebelumnya terlebih dahulu dilakukan prosesi mappasili atau disebut juga tepung tawar. Saat itu kambing akan dipakaikan kain putih kemudian ditepiskan dengan air pasili. Air pasilinya sendiri terbuat dari kunyit dan beras, sedangkan untuk menepisnya menggunakan daun juang-juang.

Saya pun merengsek kearah kambing, membantu para Pe-Tua lainnya untuk memegang. Kebetulan saat itu saya dipercaya untuk memegang kedua kaki depannya. Dengan menyebut nama Allah dan kalimah-Nya, Kambing tersebutpun disembelih. Seketika darah mengalir deras, tumpah membasahi bumi.

Kambingnya lagi disembelih

Passili atau tepung tawar

Tidak hanya itu, saya juga mendapat kepercayaan untuk ikut serta mengkuliti kambing. Ternyata susah juga ooi. Perlu kesabaran ekstra agar kulitnya tidak robek. Selain itu, pisaunya juga mesti tajam. Dari sinilah saya mendapatkan pelajaran dari Pak Parten bagaimana cara mengkuliti yang benar. Katanya, “kalau tidak mecoba, mana mungkin bisa tahu”.

Ternyata bukan mengkuliti saja yang lebih sulit. Bagi saya ada hal yang mesti lebih hati-hati lagi, yaitu menanggalkan kantong perutnya. Disaat inilah, kita harus ekstra fokus agar pisau yang digunakan tidak merobek kantongnya. Jika itu sampai terjadi, maka siap-siap saja aroma busuk akan mengambang diudara.

Karena saya saat itu merasa tidak punya keahlian, saya pun lebih memilih untuk memegang kantung perut bagian bawahnya, ketimbang ikut melepaskannya. Iya, harus dipegang agar tidak jatuh terhempas ke bumi. Semakin lama, kantong tersebut semakin terasa berat, hingga akhirnya terlepas semua. Selanjutnya, kambing yang telah dikuliti dan dibuang isi perutnya akan dipotong-potong menjadi beberapa bagian.

Lagi Seru Main Zakar Kambing

Sementara didapur, buk ibuk yang terdiri dari para tetangga dan keluarga sibuk mengurusi hal lainnya. Seperti meracik rempah-rempah, membuat kue dan memasak ini-itu. Intinya, buk ibuk yang ada didapur sibuk berkerja, mempersiapkan urusan kampung tengah (perut).

Sibuk menyiapkan perasaan, eh masakan

Madduppa

Untuk mengundang para tamu tentunya memiliki cara tersendiri. Yaitu melalui madduppa atau dalam bahasa Indonesianya berarti mengundang. Namun caranya bukan melalui tulisan, melainkan menyampaikan undangan melalui lisan. Kebetulan saat itu saya diberikan amanat untuk menjadi Padduppa (orang yang madduppa). Saya pun mendatangi rumah para tetangga satu-persatu, menyampaiakan panggilan (undangan) Si Tuan yang punya hajat. Setidaknya ada sekitar 50 rumah yang diundang. Untuk mengetahui madduppa lebih lanjut, silahkan baca disini.

Mengkhatamkan Al-Quran dan Yaasiinan

Malam pun tiba. Para keluarga dan tamu yang diundang berdatangan. Laki-laki memakai kopiah dan perempuannya berpakaian menutup aurat. Dalam prosesi mattampung, sebelum tiba hari pelaksanaan, malam sebelumnya dilakukan pembacaan Yaasiin dan pattemme’ Qur’ang atau mengkhatamkan Al-Quran. Biasanya, pembacaan Al-Quran ini dilakukan selama tiga malam berturut-turut.

Namun, berhubungan pembacaan Al-Quran sudah dikhatamkan oleh anak almarhumah, maka para tamu undangan yang hadir malam itu hanya membaca yaasiin. Setelah selesai, tamu pun disajikan dengan aneka kue yang diletakkan diatas penampan. Saya yang saat itu mengangkatnya mulai tergoda untuk mencicipinya. Setidaknya ada empat jenis kue yang dihidangkan.

Yaasiinan

Tahlilan

Tibalah dihari Pelaksanaan. Saat Pagi, pihak keluarga terlebih dahulu pergi kekuburan untuk mengganti nisan dan melakukan tahlilan. Tidak perlu seluruh keluarga, minimal ada yang mewakili. Karena acaranya yang dilakukan pagi hari mengakibatkan saya tidak bisa mengikuti. Biasa, ada urusan negara. HEHE. Pihak keluarga dan orang-orang yang pulang dari kuburan selanjutnya akan di passili (tepung tawar).

Sekitar pukul 10.00 WIB, tamu-tamu yang diundang akan datang lagi. Saat ini, orang-orang akan membaca tahlilan. Kalimah-kalimah Allah terdengar bergemuruh memenuhi langit-langit ruangan. Mereka terlihat khusyuk memanjatkan do’a kepada sang Illahi. Disaat inilah, kambing kemarin yang disembelih akan disajikan  bersama lauk-pauk yang lain.

Lagi-lagi saya mendapat kepercayaan untuk membantu menyajikan makanan. Makanan tidak disajikan secara prasmanan, melainkan saprahan. Yaitu meletakkannya dilantai dengan menggunakan baki yang besar. Para tamu akan segera menikmatinya setelah pembacaan do’a dan tuan rumah mempersilahkan.

Tahlilan

Massanji

Acara belum selesai sampai disitu. Sekitar jam 1 siang akan kembali diadakan Massanji. Massanji disini bukan nama salah satu musisi terkenal Indonesia, ya. Melainkan adalah melakukan pembacaan barzanji. Tapi untuk ini yang diundang biasanya hanya keluarga dan tetangga terdekat saja. Maklum biasanya saat siang itu, orang-orang lagi enaknya lagi tidur siang. Prosesi acara mattampung pun selesai setelah dilaksanakan massanji.

Ngantu euyyy

Tujuan utama dari diadakannya mattampung adalah untuk memanjatkan do’a kepada Allah agar almarhum atau almarhumah bisa mendapatkan tempat yang layak disisi-NYA. Disisi lain, tardisi yang dilaksankan ini juga syarat akan makna, seperti saling tolong-menolong dan berbagi kepada orang-orang terdekat. Selain itu, mattampung ini bisa menjalin tali silaturrahmi dan memperkuat rasa pepersaudaraan. Tabe’...

Saturday, December 28, 2019

Mitos Gerhana Matahari


Matahari sudah diatas kepala. Suara adzan yang saling berkumandang pun sudah lama berhenti. Itu pertanda waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB. Bisa kurang atau bisa saja lebih.

Dibawah pondok sederhana yang beratapkan terpal biru saya terbaring. Sambil memandang keatas, menghitung buah durian yang masih bergantung diatas pohon. Ya, sekarang lagi musimnya buah durian. Meskipun buahnya tidak banyak seperti musim kemarin, tetapi cukuplah untuk makan sekeluarga.

Cuaca yang gerah memang tepat dibawa bersantai. Terbaring, sambil berharap angin sepoi-sepoi datang menghampiri. Apalagi suasananya tentram, jauh dari kebisingan. Meskipun sekali-kali terdengar bunyi suara tokek dan burung pelatuk yang sedang melobangi pohon.

Karena waktunya yang sudah siang membuat mata terasa kantuk. Apalagi saat itu hanya sendirian, tidak ada teman yang bisa diajak berbincang. Alhasil, dalam hitungan menit saya pun terlelap dalam mimpi.

Gedebuk.

Suara durian jatuh membuat saya terbangun. Cuaca saat itu terlihat mendung, sehingga sempat berpikir kalau sebentar lagi akan turun hujan. Tanpa buang waktu, saya pun lekas mencari buah durian sebelum tetes air jatuh kebumi.

Tidak lama kemudian langit tampak semakin gelap. Kebun yang dipenuhi pepohonan rindang terlihat layaknya akan malam. Burung-burung dan binatang lainnya pun enggan untuk bersuara, seakan-akan ada yang mereka takuti.

Saya pun mempercepat langkah menuju pondok. Berbagai pikiran yang macam-macam mulai menghantui kepala. 'Bagaimana jika ada badai datang dan merobohkan pohon-pohon yang ada disekitar pondok. Ini tentunya sangat berbahaya.' 

Syukurlah saat itu saya langsung teringat dengan beredarnya berita bahwa akan ada gerhana matahari cincin atau disingkat GMC. Gerhana matahari cincin adalah dimana bulan menutupi matahari dan hanya menampakkan pinggirannya saja. Pinggiran matahari yang masih terlihat tersebut akan tampak seperti cincin yang bercahaya. Semoga bisa dipahami, dari saya yang anak kampung.

Berbicara mengenai gerhana matahari, masyarakat dikampung saya memiliki cerita yang menarik untuk dibagikan. Cerita tersebut boleh dipercaya dan boleh juga tidak. Intinya sebuah cerita hadir ditengah masyarakat untuk memberikan hiburan, sebagai pengingat, atau yang lainnya.

Pertama adalah tentang si naga dan matahari. Cerita tersebut sering saya dengarkan ketika masih kecil dan menjadi hal yang menarik untuk dibahas saat itu.

Ketika gerhana matahari tiba, maka alam akan terlihat gelap. Matahari yang tadinya bersinar menerangi bumi seketika akan hilang. Orang-orang kampung mengatakan kalau matahari tersebut telah ditelan oleh naga. Makhluk yang besar penghuni luar angkasa.

Orang-orang dewasa saat itu tahu bahwa cerita tersebut hanyalah mitos. Namun mereka sangat senang menceritakannya kepada kami. Apalagi ada yang bertanya, makin bertambah pula bual yang dikatakan.

Tidak bisa dibayangkan keadaan bumi tanpa matahari. Yang pasti, alam akan selalu terlihat gelap.

Kami pun harus membuat keributan agar naga  tersebut merasa terganggu dan mengeluarkan kembali matahari. Seperti memukul tiang listrik, pohon-pohon dan yang lainnya. Bisa dibayangkan bagaimana ributnya kampung kami ketika ada gerhana matahari saat itu.

Yang kedua adalah tentang si pohon buah. Memukul-mukul pohon ternyata tidak hanya untuk mengeluarkan matahari dari perut si naga, tetapi juga dipercaya bisa memperbanyak buahnya.

Sampai saat ini, sebagian orang masih percaya bahwa dengan memukuli pohon ketika gerhana berlangsung maka akan menambah jumlah buah. Pohon dengan buah yang biasanya sedikit akan lebih banyak diperiode berikutnya.

Saya sempat bertanya, 'memangya apa hubungannya antara memukul pohon dengan semakin banyaknya buah?'

Jawabanya adalah, karena memukul pohon itu bisa memberikan semangat kepada si pohon untuk berbuah. Sesimpel itu saja jawabannya.  Silahkan anda menilainya sendiri.

Hal yang harus diketahui juga, ternyata cerita si naga diatas hanyalah akal-akalan saja agar kami semangat untuk memukul pohon. Kepolosan kami dimanfaatkan untuk kepentingan mereka. Sungguh terlalu.

Ketiga adalah tentang si babak. Babak yang dimaksud disini bukan berkaitan dengan permainan olahraga atau drama, melainkan babak yang ada dikulit. Tapi bukan juga babak belur.

Menurut KBBI, babak adalah lecet pada kulit. Babak biasanya berwarna merah dan didapati ketika lahir. Orang-orang juga biasa menyebutnya sebagai tanda lahir. Babak ini tidak hanya terdapat diselangkangan atau badan saja, melainkan juga bisa mengenai wajah.

Oleh karena itu, menurut kepercayaan setempat bahwa seseorang yang sedang hamil tidak boleh berada diluar rumah ketika gerhana berlangsung. Baik itu gerhana matahari ataupun gerhana bulan. Jika hal tersebut dikanggar, makan anak yang lahir akan punya babak.

Kurang lebih hanya itulah yang dapat saya bagikan. Setiap tempat itu memiliki cerita dan budaya yang menarik untuk diketahui. Terlepas dari mitos atau tidak, setidaknya kita harus menghargai apa yang mereka yakini.

Ayo, hal menarik apa ditempatmu ketika ada gerhana matahari?

Tuesday, December 10, 2019

Madduppa Pada Masyarakat Bugis Di Kecamatan Segedong


Sebagian besar masyarakat yang ada di Kecamatan Segedong merupakan keturunan Bugis. Meskipun sudah tidak menggunakan bahasa Bugis dalam kesehariannya, bukan berarti tradisi yang diajarkan oleh nenek moyang harus ditinggalkan begitu saja. Salah satu tradisi yang masih sering dilakukan adalah madduppa.

Madduppa dalam masyarakat Bugis memiliki makna mengundang atau memberi kabar. Bagi masyarakat Bugis, ketika mengundang seseorang tidaklah boleh sembarangan, namun memiliki tatacara tertentu. Sebelum terkenalnya surat undangan, tradisi madduppa inilah yang selalu digunakan untuk mengundang tetangga, kerabat dan sanak saudara.

Madduppa ini biasanya digunakan ketika ada hajatan mappabotting (pernikahan), mappanre temme' (khatamul Qur'an), menre' bola (naik rumah), menre' tojang (aqiqah), ataupun tahlilan untuk orang yang meninggal.

Orang yang memiliki hajatan akan menunjuk seseorang yang dipercaya untuk mengundang. Orang yang dipercayai ini disebut padduppa. Orang yang melakukan padduppa ini tentunya harus berpakaian sopan (menggunakan sarung dan songkok atau kopiah).

Adapun tatacara dalam madduppa adalah seorang padduppa harus mengucapkan salam ketika sampai dirumah yang akan diundang. Setelah tuan rumah membukakan pintu, padduppa akan meyalami tuan rumah sebagai bentuk rasa hormat sebagai tamu. Kemudian Paddupa akan duduk ketika tuan rumah telah mepersilakan.

Selanjutnya adalah penyampaian maksud kedatangan atau undangan melalui lisan. Adapun kata-kata yang disampaikan saya contohkan sebagai berikut dengan menggunakan nama Wak Semang sebagai  orang yang punya hajatan dan wak Apo' sebagai orang yang diundang.

"Wak Apo', Kireng seleng wak Semang suro ki' lekka ki bolana baja ele' te' fitu. Burane makkundre."

Artinya: Wak Apo', kirim salam wak Semang mempersilahkan kerumahnya besok pagi jam tujuh. Laki-laki  perempuan.

Begitulah isi undangan yang disampaikan secara lisan oleh padduppa. Jika yang diundang hanya laki-laki saja, maka pesan yang disampaikan tidak perlu ada kata kalimat burane makkundre. Namun jika yang diundang semua anggota (laki-laki dan perempuan) maka kalimat tersebut harus disebutkan diujung pesan. Dan jika ada pertanyaan dari tuan rumah yang diundang, maka paddupa akan menjelaskan sesuai yang diketahuinya. Setelah itu padduppa akan izin pamit.

Dalam madduppa tentunya tidak serta merta harus menggunakan bahasa Bugis saja. Semuanya tergantung dengan tuan rumah yang didatangi. Jika selain Bugis, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu yang merupakan bahasa interaksi sehari-hari.

Namun bagaimana jika rumah yang didatangi sedang kosong. Untuk mengatasi hal tersebut padduppa biasanya akan mengikatkan sesuatu di gagang pintu pemilik rumah. Baik itu berupa tali rapiah atau pelepah daun pisang yang kering yang biasanya sangat mudah dijumpai disekitar rumah. Pengikatan tersebut bertujuan agar si pemilik rumah tahu bahwa ada undangan. Jadi jangan heran jika suatu saat masuk kedaerah Segedong menemukan hal tersebut.

Begitulah sebuah tradisi yang sampai saat ini masih dipertahankan. Ketika mengundang seseorang tidak hanya sekedar menyampaikan berita saja, namun ada etika yang harus dijaga. Mengucapkan salam, berjabat tangan dan penyampaian pesan harus dalam keadaan duduk.

Lain ketupat lain isi
Lain tempat lain tradisi

Friday, February 22, 2019

Menengok Rumah Adat Melayu Mempawah Yang Baru


Saat itu matahari sudah meninggi, menyinari Bumi Bestari. Para lelaki terlihat rapi dengan menggunakan pakaian warna putih menuju rumah Illahi. Jalanan terlihat lengang, hanya sesekali lewat mobil yang melaju kencang. Hari itu adalah hari jum'at dan tidak lama lagi akan berkumandang suara adzan.

Tak perlu tergesa-gesa, motor yang kami kendarai tetap bergerak dengan kecepatan konstan. Bagi kami keselamatan adalah nomor utama, apalagi jangan sampai mencelakakan orang lain. Disaat akan menyeberangi jalur, mata terlirik dengan sebuah bangunan yang bernuansa kuning. Warnanya yang mencolok membuat semua orang yang lewat akan tertuju kepadanya. Melihat bangunan tersebut, saya langsung teringat dengan postingan foto oleh salah satu teman yang ada di facebook. Bangunan yang mewah tersebut adalah rumah adat Melayu Mempawah yang baru saja dibangun.

***

Disaat pulang menuju Kota Pontianak, kami menyempatkan diri untuk mampir ketempat tersebut. Kebetulan saat itu akses untuk masuk kehalamannya terbuka (tidak diportal), yang membuat kami yakin tempat ini boleh disinggahi. Meskipun sebelumnya ada anggapan bahwa tempat ini tidak boleh disinggahi karena belum diresmikan. Jika kami telah melakukan kesalahan mohonlah dimaafkan.

Sebagai pemuda Kabupaten Mempawah, tentunya saya sangat merasa bangga akan kehadiran bangunan ini. Bagaimana tidak, setahu saya ini merupakan pertama kalinya daerah kami memiliki rumah adat Melayu secara resmi (jika salah tolong diberi tau ie). Meskipun sejak lama telah ada Istana Amantubillah dengan nuansa khas Melayu.

Setelah memarkirkan motor, kami pun langsung mendekati bangunan tersebut. Karena tempatnya masih baru, kami pun tidak ingin menghapus jejak ketika mampir disini. Tanpa disuruh lagi, sebuah alat bantu yang bernama android dikeluarkan untuk mengambil gambar yang terbaik.

Untuk keseluruhan, pembangunan rumah adat Melayu Mempawah ini memang belum rampung. Hanya bangunan rumahnya saja yang menurut saya sudah selesai dikerjakan. Selebihnya seperti jalan masuk, pagar dan plang nama belum dibuat. Selain itu, halamannya juga perlu ditata lagi agar terlihat lebih menarik. Baik itu dengan penanaman rumput, pohon maupun taman.

Meskipun belum selesai, namun keindahan rumah adat Melayu Mempawah ini sudah bisa dirasakan. Perpaduan antara warna kuning dan coklat pada bangunan memberikan kesan estetika yang elegan. Penggunaan warna kuning ini tentu saja tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat Melayu bahwa warna tersebut melambangkan kesucian.

Rumah Adat Melayu Mempawah ini memadukan antara konsep modern dan tradisional. Dikatakan modern karena menggunakan beton dan lantai dari keramik. Sedangkan yang saya ketahui, rumah Melayu itu diidentik dengan menggunakan materil dari kayu, baik itu tiangnya, tangganya, lantainya dan lain-lainnya. Namun itu bukanlah masalah, yang terpenting adalah rumah ini masih menggunakan corak dan ciri khas Melayu.

Seperti rumah Melayu lainnya, Rumah Adat Melayu Mempawah juga berbentuk rumah panggung. Dimana bangunan ini ditopang oleh tiang-tiang dengan ketinggian  yang mencapai satu meter lebih.


Sebelumnya saya juga tidak terlalu memperhatikan, ternyata disalah satu bagian bangunan memiliki bentuk yang sama dengan  bagian bangunan di Istana Amantubillah. Pada atap bagian bangunan depan (selasar) terlihat corak ragam hias yang sama. Diatas atap terdapat tonggak yang lurus dan ukiran kayu yang berupa motif pucuk tanaman dan gelombang. Dibawah atap (dibawah lisplang) juga terdapat tiga tiang gantung  dan ukiran kayu bermotif tanaman. Selain itu, dibagian depan selasar juga terdapat dua buah bintang segi delapan, yang bentuknya mirip roda kemudi kapal.

Dilansir dari situs Pemerintah Daerah Kabupaten Mempawah, Rumah Adat Melayu Mempawah rencana kedepannya akan dilengkapi dengan area wisata kuliner dan perpustakaan agama. Wah, keren juga nih perencanaannya! Apalagi mengingat lokasinya yang berseberangan dengan Masjid Agung Alfalah, pastinya hal tersebut sangat mendukung dan dibutuhkan. Pengunjung yang mampir untuk menunaikan ibadah, bisa sekaligus untuk bersantap kuliner atau menambah wawasan.

Setelah puas berfoto dibagian depan, kami melanjutkan kembali untuk menyusuri bagian yang lainnya. Meskipun tidak bisa melihat bagian dalam, namun menjajal bagian depan sudah lebih dari cukup. Layaknya rumah Melayu lainnya, pinggiran tangga dan teras juga diberi pagar ukiran kayu.

Berikut beberapa foto yang kami dapatkan.





Kehadiran Rumah Adat Melayu Mempawah ini tentunya sangat didambakan oleh masyarakat Kabupaten Mempawah. Oleh karena itu, harapan penulis semoga  kedepannya bangunan ini bisa menjadi tempat silaturrahmi dan tumbuh berkembangnya budaya Melayu. Takkan hilang Melayu ditelan zaman.

Wednesday, November 7, 2018

Beginilah Robo-Robo di Asrama Mahasiswa Kabupaten Mempawah


Robo'-Robo' Asrama Mahasiswa Kabupaten Mempawah

Tadi pagi, bertepatan hari rabu. Sama seperti hari biasanya, matahari terbit dari arah timur. Awan tipis seperti kapas berarak dibawah birunya langit. Sekelompok burung gereja yang hinggap dibumbung asrama sesekali juga terlihat berterbangan, menjemput rezeki yang dijanjikan Sang Penciptanya.

Namun ada yang sedikit berbeda untuk hari ini. Pagi-pagi hari kami sudah berkumpul dilapangan voli, bermandikan cahaya pagi. Tapi bukannya untuk bermain voli atau sekedar berolahraga lainnya. Melainkan katanya hari ini merupakan hari bersejarah bagi daerah kami, Mempawah. Kami pun diarahkan untuk duduk memanjang dihadapan makanan yang telah disajikan.

Robo'-robo', itulah alasan kenapa kami berkumpul. Merupakan sebuah acara budaya yang selalu dilaksanakan setiap tahunnya. Robo'-robo' dilaksanakan pada hari rabu terakhir dibulan safar, dimana sebagian besar orang percaya bahwa saat itu ada banyak bala atau bencana yang diturunkan. Oleh karena itulah dilakukan do'a bersama, memanjatkan do'a kepada Allah agar dijauhkan dari marabahaya.

Selain hal tersebut, adanya robo'-robo' juga merupakan napak tilas atas kedatangan Opu Daeng Menambon kedaerah Mempawah. Kedatangan beliau disambut dengan sukacita oleh masyarakat setempat. Orang-orang berkumpul dipinggiran sungai dan beberapa perahu nelayan juga terlihat mengiringi kedatangannya. Melihat hal tersebut, Opu Daeng Menambon sangat tersanjung dan membagikan bekalannya kepada masyarakat. Masyarakatpun menerima makanan tersebut dan menikmatinya bersama-sama dipinggiran sungai. Atas dasar itulah, disaat robo'-robo' banyak masyarakat yang makan bersama-sama dialam terbuka. Seperti dijalan, tepian sungai dan halaman rumah.

Datangnya hari robo'-robo' ini tentunya sangat dinantikan oleh masyarakat Mempawah dan sekitarnya. Pada saat inilah orang-orang berkumpul bersama tanpa memandang latar belakang. Baik itu kaya ataupun miskin, pejabat ataupun rakyat biasa, semuanya pada berkumpul dan duduk bersama. Semua orang yang datang membawa makanan dari rumahnya, turut ikut serta berbagi pada sesama. Ketupat lemak, patlau, bontong, pulut kuning, ayam panggang, ayam opor, sambal teri, sambal mi, sambal kepah menjadi pemandangan yang lumrah ketika hari robo'-robo' tiba.

Tapi itu dikampung halaman kami. Sekarang kami berada di Kota Pontianak. Berbeda jauhlah kemeriahannya.

Seperti tahun sebelumnya, tahun ini kami juga memperingati peristiwa penting tersebut. Meskipun tidak meriah seperti yang ada di Mempawah, namun bukan berarti membuat kami untuk berkecil hati. Yang terpenting bagi kami adalah momen tersebut tetap terlaksana seperti yang lalu.

Tidak banyak agenda yang dilakukan dalam acara robo'-robo' kami di Kota Pontianak. Awal kegiatan dibuka dengan kata sambutan dari ketua Asrama Mahasiswa Kabupaten Mempawah. Selanjutnya melakukan do'a bersama yang dipimpin oleh seorang teman. Barulah setelah itu kami melakukan makan-makan bersama.

Makanan yang dihidangkan pun sederhana. Hanya berupa ketupat, sambal mie, bumbu kacang dan kuah kaldu tanpa sayuran. Tetapi bukan prosesi makan-makannya yang menjadi poin utama adanya acara ini. Yang terpenting bagi kami adalah kumpul bersama dengan memanjatkan do'a kepada Allah agar diberikan kebaikan.

Disela-sela makan bersama selalu saja ada hal konyol yang mengundang tawa. Tak heran, jika kadang-kadang terdengar suara tawa pecah dan mengundang perhatian teman lain yang terlarut dalam bersantap. Hal seperti inilah yang semakin membuat makan kami semakin nikmat.

Meskipun tidak berada dikampung halaman, namun kami bisa merasakan nuansa robo'-robo' tersebut.

Ada Saja Hal Lucu Ketika Bersama

Keberagaman Dalam Kebersamaan