Friday, May 27, 2022

Nikmatnya Air Gambut

Tags

Dipojok kaki, terlantar sebotol minuman mineral yang hampir habis, mungkin hanya tinggal dua tiga teguk lagi. Sedangkan Makanan pedas yang sebelumnya dilahap betul-betul membuat kerongkongan terasa haus. Ah, mana pula cukup minuman segitu untuk menghilangkan dahaga.


Saya pun menoleh kiri kanan, berharap ada air yang bisa diminum. Diatas kepala, tampak beberapa tandan buah kelapa yang begitu menggiurkan. Tapi sayang, pemiliknya tidak ada ditempat. Tidak jauh dari tempat duduk, juga ada air berwarna kuning kemerahan yang mengalir. Tapi apakah air gambut bisa dikonsumsi?


Air Dari Hulu dan Mata Air


Menjadi petugas lapangan disebuah lembaga mengharuskan saya untuk selalu siap ditugaskan dimana saja. Mulai dari pendataan masyarakat yang dilakukan secara door to door, hingga perkembangan tanaman pun mesti diamati. Tidak jarang saya harus keluar masuk kebun hingga hampir sampai dibatas hutan.


Nah karena lokasinya lumayan jauh tentunya untuk kebutuhan logistik mesti dibawa. Yang paling utama adalah minuman, karena itu adalah kebutuhan utama saat kita beraktifitas. Sedangkan makanan lebih menyesuaikan kondisi dilapangan. Apabila lamanya  diatas 6 jam lebih baik dibawa.


Lalu apa hubungannya dengan air gambut, Daeng? Sabar dulu, ini baru mau diceritain.


Makan dialam bebas memang sungguh nikmat. Apalagi dibawah pohon yang rindang dengan sentuhan angin sepoi-sepoi. Tidak peduli lauk ikan asin, asalkan ada nasi dan sambalnya pasti akan habis dilahap. Apalagi penulis membeli nasi bungkus, lengkap dengan ayam goreng dan tempe bacemnya.


Diiringi nyanyian burung dan suara arus air, saya semakin menikmati tiap suapan yang masuk kedalam mulut. Tidak peduli betapa pedasnya sambal yang dirasakan. Tidak peduli juga suara bising nyamuk yang mendekati telinga, saya tetap menikmati piknik kecil tersebut. 


Hingga akhirnya, makanan ditangan telah habis. Rasa pedas yang cukup membakar mulut membuat saya harus segera minum. Tapi, minuman yang dibawa tadi ternyata sudah hampir habis, menyisakan hanya beberapa teguk. Cuaca yang panas dilapangan tadi betul-betul membuat dahaga. Jangankan untuk dilapangan berikutnya, untuk menghilangkan dahaga setelah makan saja tidak cukup.


Saya pun menoleh sana sini, berharap ada warga yang sedang lewat membawa minuman. Atau mungkin ada warung yang bersembunyi dibalik semak-semak. Ah, kalau sudah haus rasanya sulit betul untuk berpikir sehat. Mana pula ada orang yang mau jualan dihujung kebun, kecuali Mbak Kunti.


Tidak jauh dari tempat duduk, terlihat beberapa tandan buah kelapa yang sedang menggantung. Amboi, bukankah begitu nikmat jika disaat cuaca panas meminum airnya. Baru di petik dari pohonnya pula. Tapi tunggu, itu bukan milik kita, kawan!


Saya pun beranjak dari tempat duduk, menuju sumber suara gemericik air. Disana, didalam parit buatan warga, mengalir air berwarna kuning kemerahan. Itu adalah air gambut atau kami sering menyebutnya air hutan. 


Meskipun tidak berwarna putih, namun air tersebut bersih dan tidak keruh. Hanya warnanya saja yang berbeda. Air tersebut berasal dari hulu daratan dan mengalir hingga ke hilir. Selain itu, disekitar parit juga terdapat mata air yang selalu mengeluarkan air, dan akan semakin kencang disaat musim penghujan.


Airnya sungguh terasa sejuk saat saya mengulurkan tangan. Tak perlu menunggu lama, saya langsung meminumnya menggunakan tangan. Siapa pula yang tahan berlama-lama menahan haus. Airnya sungguh terasa segar, sama seperti air minum lainnya yang terasa tawar. Sungguh terasa nikmat disaat matahari teriknya membara.


Tidak perlu takut bila mengkonsumsi  air gambut. Penulis ingat betul, dulu disaat penduduk kekurangan air minum maka air inilah yang akan digunakan. Mereka menggunakan sampan menuju hulu sungai dan pulang dengan jerigen berisi air. Alhamdulillah, mereka tetap sehat-sehat saja. Cuma yang mesti dipastikan adalah air tersebut mengalir dan tidak ada aktivitas pencemaran lingkungan.


Ada yang pernah mencoba air gambut?

Media Sosial yang digunakan:


EmoticonEmoticon