Saturday, August 26, 2017

Hentikan Menawar Harga Ke Nelayan


Anda sangat menyukai konsumsi ikan, cumi-cumi, udang atau lainnya yang berasal dari tangkapan nelayan ketika melaut? Saya rasa semua orang menyukainya, apalagi ikan terkenal kaya akan kandungan gizinya. Namun tanpa kita sadari, banyak diantara kita yang selalu menawar harga ketika sedang membeli ikan. Kalau nawarnya ke pengumpul atau ke pengecer saya rasa tidak masalah, namun saya merasa keberatan jika anda menawar harga ikan yang dibeli langsung ke nelayan. Apakah teman-teman pernah berfikir bagaimana susahnya nelayan untuk memperoleh hasil tangkapan tersebut?

Kali ini saya ingin berbagi cerita kepada teman-teman tentang pengalaman liburan saya akhir pekan yang lalu. Mendengar kata 'liburan' memang sangat menyerukan apalagi dalam akhir-akhir ini disibukkan dengan tugas atau pekerjaan. Namun liburan kali ini sangat berbeda dengan liburan yang biasa dilakukan sebelumnya. Kali ini liburan saya  ada kaitannya dengan kegiatan rutin yang selalu dilakukan oleh nelayan, yaitu pergi melaut.

Meskipun sebelumnya saya sudah pernah mengarungi laut dalam rangka berliburan ke pulau, namun jika ikut nelayan melaut bagi saya merupakan yang pertama kali alias perdana. Singkat cerita, kami pun berangkat melaut disaat hari masih gelap. Beginilah setiap hari yang selalu dilakukan oleh nelayan harus berangkat subuh agar bisa mendapatkan tangkapan ikan yang banyak dan pulang sebelum matahari terbenam.

Motor air kami pun perlahan-lahan menyusuri sungai yang saat itu sedang surut. Didalam perjalanan, cuaca yang dilihat sangat bersahabat tadi, tiba-tiba saja turun gerimis yang membasahi motor air kami. Oh ia, motor air yang kami gunakan tidaklah besar seperti kapal-kapal milik bandar besar yang sangat kokoh ketika ombak menghadang, melainkan panjangnya hanya 8 meter dan terbuat dari bahan papan.

Awalnya saya fikir perjalanan ini sama juga seperti liburan saya ke sebuah pulau yang sangat menyerukan dan penuh dengan petualangan yang sangat menyerukan. Namun ternyata ombak yang kami hadapi sekarang ini lebih besar dari yang pernah saya alami sebelumnya. Dengan lincahnya pak nelayan sekaligus juga sebagai pengemudi motor air ini menyerongkan motor air agar ombak tidak menghantam motor air ini lebih kuat. Jika salah ambil langkah saja, motor air bisa tenggelam atau pecah terkena hempasan ombak yang kuat.

Satu jam lebih perjalanan, akhirnya kami sampai di tengah laut. Motor air kami pun dihentikan dan dimulailah untuk menurunkan pukat. Dengan hati-hati pak nelayan menjatuhkan pukatnya dilaut sambil memainkan kemudi motor air yang telah dirancang sedemikian rupa sehingga bisa berjalan perlahan untuk mengulur pukat tadi. Tidak hanya itu, Pak Nelayan juga harus bisa menjaga keseimbangan tubuhnya agar jangan sampai jatuh kelaut akibat motor air yang selalu bergoyang.

Dengan berhentinya motor air sejenak, saya kira terjangan ombak yang dirasakan semakin berkurang. Ternyata rasanya malah makin bertambah  dan membuat kami terasa terombang-ambing. Teman yang tadinya sebelum berangkat sangat antusias dan senang ketika berangkat, wajahnya mulai terlihat pucat dan begitu juga bibirnya. Jika bukan dikarenakan di tengah laut, sudah kukatakan kalau wajahnya sudah mirip seperti mayat. Setelah beberapa menit, akhirnya teman saya tersebut memberikan makan ikan.

Langit yang tadinya terlihat sangat bersahabat, kini terlihat seperti akan runtuh yang dipenuhi awan mendung. Lagi-lagi cuaca memang tidak bisa di tebak. Hujan pun turun dengan deras membuat kami yang diluar harus segera masuk dan berteduh dibawah kap. Kini ombak lebih tinggi lagi dari yang sebelumnya. Pikiranku pun mulai dirasuki dengan membayangkan hal yang negatif. Apa jadinya jika motor air ini selalu dihantam gelombang yang tingginya  mencapai 2 sampai 3 meter. Sepintas saya membayangkan film kapal titanic yang dimulai dengan kisah perjalanan yang menyerukan namun berakhir dengan kisah yang menyedihkan.

Kata temanku yang juga memang merupakan anak nelayan, tinggi ombak sekarang ini tidaklah seberapa dibandingkan dengan sebelumnya yang juga disertai angin kencang. Jika seperti ini saja dia an anggap tidak ada apanya, bagaimana lagi dengan yang lebih besarnya? Aku tersadar bahwa pergi melaut taruhannya adalah nyawa.

Meskipun hujan masih deras dan ombak masih besar, Pak Nelayan masih tetap melanjutkan untuk melaut. Padahal di kiri kanan jelas terlihat tinggi ombak melebihi tinggi motor air. Karena sudah tidak sanggupnya menahan pusing kepala akibat terombang ambing, akhirnya aku pun juga memberikan ikan makan secara cuma-cuma, mengikuti jejak temanku yang sebelumnya.  Sungguh, mabuk laut itu lebih menyakitkan dibandingkan dengan mabuk darat. Rasanya ingin segera hilang dan langsung berada di daratan untuk beristirahat. Untuk bangun pun aku sudah susah, hanya sebentar saja. Akhirnya aku dan temanku hanya bisa terbaring sambil memejamkan mata dan sesekali melihat tingginya ombak yang seakan mengikuti kami.

Setelah berapa lama, akhirnya huajan mulai berhenti dan digantikan cuaca yang sangat panas. Meskipun cuaca sudah membaik, namun tinggi ombaknya masih cukup tinggi. Jika tadi kami dihadapkan dengan hujan yang membuat ombak menjadi tinggi, sekarang kami harus dihadapkan teriknya panas matahari yang terasa menyengat. Apalagi kap motor air tempat kami berteduh jaraknya rendah sehingga membuat rasa panas masih  terasa. Dengan semakin teriknya matahari ternyata membuat kami semakin mabuk pula

Hilanglah sudah semua rencana yang telah kami persiapkan sebelumnya. Jika sebelumnya kami semua berencana ingin berfoto sebanyak mungkin dengan view yang menarik, kini hanya terbaring lemah dibawah kap motor air. Sungguh, bagaikan jasad yang sudah tak bernyawa. Begitu juga dengan makanan yang kami bawa, terlantar seperti tidak ada yang memilikinya

Kurang lebih lima jam lamanya menarik pukat, akhirnya pak nelayan menaikkan pukat tersebut. Terlihat berbagai jenis ikan yang terperangkap, cumi-cumi dan juga renjong. Rasa mabuk saya sepertinya sedikit berkurang melihat hal tersebut. Saya pun memutuskan untuk membantu memilih hasil tangkapan tersebut dan memasukkan ketempatnya masing-masing. Namun, yang namanya mabuk tetap saja tidak bisa nunduk. Dan lagi-lagi saya memutuskan untuk pergi berbaring saja.

Melihat kondisi kami yang tidak begitu baik, akhirnya Pak Nelayan memutuskan untuk segera pulang. Padahal jam pulang sebenarnya adalah sore, sekitar jam 4. Jadi merasa bersalah terhadap Pak Nelayan. Gara-gara kami yang ikut melaut mengakibatkan Pak Nelayan harus pulang lebih awal dan pastinya tangkapanpun akan lebih sedikit dari yang sebelumnya. Saya do'akan untuk nelayan dimanapun berada, semoga tangkapannya selalu melimpah dan mendapatkan harga yang layak.

Meskipun sudah berada dirumah, rasa mabuk tersebut masih saja tetap terasa. Apalagi ketika pergi ke kamar kecil, rasanya masih seperti terombang-ambing dilautan (Efek mabuk lautan). Jadi sekali lagi saya ingatkan jangan menawar harga ikan jika langsung membeli ke nelayannya.


Media Sosial yang digunakan:


EmoticonEmoticon