Wednesday, June 1, 2022

Tradisi Balala': Hampir Dihukum Adat

Tags

Diatas bangku panjang sebuah warung, saya selalu melirik kearah jam tangan. Melihat waktu yang seakan-akan cepat sekali berputar. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 17.35 WIB, itu artinya tidak lama lagi akan berlangsung balala', pelarangan semua aktifitas diluar rumah. Sementara diluar sana, hujan terus turun dengan lebatnya, seakan-akan tidak peduli dengan cerita perjalanan kami yang masih panjang. Jangankan untuk berhenti, menurunkan debitnya menjadi gerimis saja tidak ada tanda-tanda. Kalau terus begitu, mau tidak mau kami harus menentukan pilihan. Melanjutkan perjalanan dibawah guyuran hujan atau menetap diperkampungan dengan sanksi adat yang kemungkinan akan diterima.




Sesuai perjanjian, titik perkumpulan untuk melakukan perjalanan ditetapkan di Sungai Pinyuh. Rencana yang semulanya berangkat pagi, harus diubah menjadi bakda jumat dikarenakan ada sesuatu lain hal. Karena domisili saya berada cukup jauh dari tempat pertemuan, saya memutuskan untuk datang lebih awal 2 jam dari waktu yang ditentukan. Bukannya apa, saat itu bertepatan  dengan hari jumat, ada sesuatu kewajiban yang mesti ditunaikan terlebih dahulu.


Sambil menunggu rekan yang lainnya tiba, saya memutuskan untuk makan siang disalah satu tempat makan cepat saji. Selain bisa ngadem dan mengisi kampung tengah, disini juga sekalian menambah daya baterai. Lumayan untuk persiapan dilapangan yang kemungkinan besar tidak ada aliran listrik.


Waktu sudah menunjukkan pukul 13.10 WIB, orang yang ditunggu belum juga menampakkan mancung hidungnya. Saya pun mengirimkan foto digrup perjalanan sekaligus menanyakan sudah dimana? Tidak perlu menunggu lama, salah satu teman membalas kalau beliau akan segera OTW. Mendapat jawaban tersebut saya langsung memutuskan untuk keliling-keliling Sungai Pinyuh dahulu. Menghabiskan bensin cuma-cuma sekaligus menambah pencemaran udara. Ualah...


Disaat enak-enaknya ngadem di supermarket (lebih tepatnya belanja keperluan), tiba-tiba salah satu teman nelpon mengasi kabar kalau dia sudah sampai dilokasi. Ini baru satu teman yang tiba, masih ada rekan yang lain. Untuk ngademnya pun  disambung di sebuah cafe bernama 'lanjut'. Sesuai namanya, cafe tempat kami nongkrong ini seakan-akan memberikan aba-aba ke kami, apakah lajut berangkat atau lanjut pulang. Terlebih saya baru tahu kalau teman yang bilang OTW tadi berangkatnya dari Kubu Raya, bukan Mempawah. Disisi lain, waktu sudah menununjukkan 15.05 WIB.


Ada banyak hal yang saya khawatirkan apabila berangkat terlalu sore. Pertama adalah hujan, dan kedua adalah terlalu malam tiba dilokasi. Terlebih lagi, ada beberapa daerah yang kami lewati akan melakukan prosesi balala'. Bagaimana jadinya jika kendaraan kami tiba-tiba bermasalah didaerah tersebut, dan pastinya tidak ada bengkel yang buka, bukan?


Hingga akhirnya, rekan yang ditunggu telah tiba. Kami berangkat pukul 15.50 WIB, betul-betul bakda jumat.  Tidak perduli lewatnya empat jam atau lebih. Ah sudahlah, yang penting kami semua bisa berangkat. Intinya liburan...


Ada beberapa jalur yang bisa dilewati untuk menuju pusat Kota Bengkayang. Berhubung titik kumpul kami adalah Sungai Pinyuh, maka jalur yang akan dilewati adalah Anjungan-Toho. Setidaknya ada dua kabuten yang akan dilewati sebelum tiba di Bengkayang, yaitu Mempawah dan Landak. Jalur dilewati betul-betul memanjakkan mata. Disepanjang perjalanan bebaris banyak bukit yang begitu elok dengan hamparan padi dibawahnya. Apalagi saat itu matahari mulai turun membuat beberapa petak padi yang duluan masak tampak bercahaya. 


Disepanjang perjalanan, tidak jarang pula kami melihat kumpulan masyarakat yang sedang melakukan prosesi dipinggir jalan. Tidak salah lagi, itu adalah serangkaian upacara adat balala' yang nantinya akan dilaksanakan. 


Jalanan terus mendaki, lalu turun hingga meliuk dibawah kaki bukit. Apa yang ada didepan sana tentu saja tidak tahu. Apakah jalanan lengang atau malah sebaliknya ada kendaraan besar dari arah jalan yang berbeda. Cuaca yang semulanya begitu panas, tiba-tiba terasa dingin menyapu wajah. Kalau sudah begini, biasanya didepan sana sedang turun hujan. terlebih awan hitam yang berarak tampak menyelimuti bukit dikejauhan. Kurang lebih dua menit hujan pun turun mengguyur perjalanan kami.


Kendaraan pun menepi disebuah warung dengan bentuk bangunan ruko. Untunglah dua toko disampingnya tidak buka, sehingga motor kami bisa langsung berteduh diterasnya. Tidak perlu susah lagi untuk menurunkan barang bawaan yang ada dikendaraan. Belum sempat saya turun dari kendaraan, keluar seorang ibu parubaya dengan membawa ikatan berbagai macam daun, lalu mengikatnya ditiang depan.


"Permisi Bu, mohon maaf, apakah masih boleh bertamu jam segini?" Salah satu rekan, Bang Zai bertanya kepada si Ibu pemilik warung.


"Masih boleh, dek." Ibu tersebut menjawab pertanyaan kami dan seakan-akan mengerti bagaimana keaadaan kami sekarang.


"Kalau prosesi balala'nya dimulai jam beberapa ya, Bu?" Bang Zai kembali bertanya.


"Kalau itu mulainya jam enam. Tapi rata-rata rumah disekitar sini sudah ramai yang tutup." Ibu pemilik warung kembali menjelaskan sambil menunjuk rumah yang ada disekitar.


Saya menoleh kearah jam tangan, saat itu waktu sudah menunjukkan Pukul 16.58 WIB. Semoga saja hujan lekas berhenti dan perjalanan bisa segera dilanjutkan kembali. Disini, kami tidak hanya diizinkan untuk berteduh, namun juga disodorkan kursi oleh si Ibu. Padahal kursi teraebut telah tersusun rapi dan tampak jelas kalau warung sebentar lagi akan ditutup. Sungguh baik sekali ibunya.


Tidak ada banyak hal yang bisa dilakukan disini, selain menikmati kerupuk kedelai dan meratapi hujan yang tak kunjung henti. Mau melanjutkan perjalanan pun tidak mungkin, karena jas hujan tinggal dimotor yang satunya. Sinyal pun tidak bersahabat saat itu, semua balok kosong dan hanya menyisakan tanda x diatasnya. Kata teman, kalau sudah masuk pedalaman begini, rata-rata hanya kartu telkomsel yang kuat jaringannya. 


Kurang lebih masih ada satu jam lagi, agar kami tidak mengganggu prosesi adat balala' yang akan diselenggarakan.


Balala' memiliki arti sepi, yaitu melarang segala aktifitas diluar rumah. Saat prosesi ini dilangsungkan maka ada pantangan yang harus dipatuhi. Seperti tidak berpergian, tidak boleh menebang kayu, tidak boleh membunuh hewan dan dilarang menerima tamu. Lalu bagaimana dengan kami yang sedang melakukan perjalanan? Diperbolehkan, selama tidak mampir atau berhenti diwilayah yang sedang melaksanakan adat balalak.


Perjalanan dilanjutkan kembali ketika hujan sudah tidak terlalu lebat, alias gerimis. Sambil berharap juga didepan sana cuaca lebih bersahabat. Yah, meskipun belum terlalu jauh perjalanan harus berhenti lagi, karena tiba-tiba hujan deras mengguyur kembali. Mau tidak mau, kami harus menepi lagi disebuah warung yang ada dipinggir jalan. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 17.25 WIB.


Setelah menurunkan barang bawaan dari kendaraan, kami langsung duduk diemperan warung. Lebih tepatnya di pojok tangga warung. Dari atas bangku, terdengar suara bapak-bapak yang mempersilahkan kami naik, "duduk saja disini, disitu masih kena hujan."


Kami menoleh kearah belakang, membalas senyuman senyuman beliau dengan ramah. Rasanya kurang enak juga menolak kebaikan orang. Saya dan kedua rekan langsung melepaskan sepatu, lalu naik ke warung dan segera duduk diatas bangku panjang.


Dibandingkan warung sebelumnya, warung kedua yang kami singgahi ini tampak begitu apik. Bangunannya yang terbuat dari papan dan berada diantara hamparan ladang membuatnya terlihat elok. Lebih-lebih lagi, disini ada penduduk setempat yang sedang karaokean. Membuat suara hujan lebur diantara melodi lagu.


Meskipun telinga terpaku dengan alunan lagu dan kaki sesekali menepuk-nepuk lantai, namun wajah tak pernah beralih dari arah jalan. Berharap kalau hujan akan segera reda dan perjalanan bisa dilanjutkan. Namun sepertinya hujan kali ini betah untuk berlama-lama. Membasahi bumi intan, julukan dari Kabupaten Landak.


Penduduk kampung yang ada disamping kami sungguh begitu ramah. Sesekali mereka mengajak kami berbicara, menanyakan asal dan kemana tujuan kami. Beliau pun sempat bercerita mengenai adat balalak yang sedang dilaksanakan ini. Terlebih, salah satu dari mereka malah sempat membetulkan standar kendaraan kami yang mulai terbenam diatas tanah kuning. Padahal saat itu sedang hujan deras.


Hujan masih tidak kunjung redah, seakan-akan ingin membatasi petualangan kami hari ini. Disi lain, ada kekhawatiran yang cukup besar jika terlalu lama-lama berada disini. Bukan hanya saja terlalu malam akan tiba, melainkan hukum adat bisa saja mengenai kami. Ah, jangan sampai kami mengganggu prosesi balala' yang akan segera dilaksanakan.


Jam sudah menunjukkan pukul 17.40 WIB. Itu artinya adat balala' sebentar lagi akan berlangsung. Jika sepuluh menit lagi hujan tidak berhenti turun, maka mau tidak mau kami harus melanjutkan perjalanan dibawah guyuran hujan. Meskipun bapak disamping tadi tetap begitu santai dengan kehadiran kami.


Dibawah alunan lagu yang mendayu-dayu, hujan malah terlihat semakin deras. Tetesan-tetesan yang jatuh diatas seng semakin kuat terdengar. Tapi syukurlah, lima menit setelah itu intensitas hujan malah berkurang drastis, menyisakan gerimis. Mungkin tadi adalah cara Tuhan untuk mempercepat hujan. Kami pun melanjutkan kembali perjalanan menuju Bengkayang.

Terimakasih atas tumpangannya, terimakasih atas ceritanya dan terimakasih atas hiburannya.

Media Sosial yang digunakan:


EmoticonEmoticon