Friday, January 3, 2020

Impian Gadis Dayak

Perjalanan saat itu harus dihentikan. Tiba-tiba saja langit yang tadinya cerah menjadi mendung. Awalnya sih hanya gerimis, namun semakin lama hujan tersebut semakin lebat. Membuat sebagian pakaian terasa basah.

Karena berada dijalan pedalaman Kalimantan, membuat kami bingung akan berteduh dimana. Yang ada dipinggir jalan hanyalah pepohonan dan jurang. Selain itu, hsnya orang berhenti dipinggir jalan untuk memakai jas hujan.

Beruntung, sebelum pakaian dan barang lainnya basah kuyup, terlihat beberapa deret rumah disisi kanan jalan. Saya pun memperlambat kendaraan dan menepi disalah satu rumah yang belum jadi. Rumah tersebut sudah memiliki atap, namun belum memiliki dinding.

Kami pun berteduh dibawah rumah tersebut, sambil merehatkan badan setelah menempuh dua jam perjalanan. Bersantai diatas gerobak sambil melihat hilir mudiknya kendaraan.

Belum lama kami bersantai, tiba-tiba datang dua gadis kecil. Mereka datang dari rumah sebelah, berteduh bersama kami layaknya orangnya yang juga kehujanan. Sesekali terdengar mereka berbicara menggunakan bahasa daerah, yaitu bahasa Dayak.

Sepintas saya juga sempat berpikir, ini anak tidak takut diculik kah? Saya saja yang sudah besar begini masih takut diculik. Diculik oleh tante-tante girang. Hehe.

Tapi sudahlah. Namanya juga anak-anak, tentunya sangat polos. Yang mereka tahu semua orang adalah baik yang bisa diajak bergembira.

Saya kira kedatangan dua gadis tersebut hanya sekedar untuk bermain pasir didalam rumah. Maklum, pasir biasanya merupakan salah satu alat yang bisa digunakan untuk bermain. Tapi ternyata tidak. Mereka malah memanjati  kayu-kayu yang ada dirumah. Hualah, ini anak kok tingkahnya kayak anak lelaki.

Sesekali saya menoleh kebelakang, untuk melihat lagi tingkah lucu dua gadis tersebut. Setiap saat saya memandang, mereka langsung tertawa sambil berbisik. Rasa curiga pun muncul, mungkin ada hal yang aneh pada diri saya? Atau mungkin tampang saya mirip Sule? Ah sudahlah, namanya juga anak-anak.

Citra, Cinta dan Saya

"Tadi dari mana? Kok hujan-hujan?" Tanya saya, memulai sebuah percakapan.

"Dari rumah yang itu." Gadis yang berbaju oren menjawab, sambil menunjuk sebuah rumah.

Sayapun melihat kearah rumah tersebut, sambil sedikit mengangguk. Tidak jauh dari rumah tersebut juga terdapat warung buah musiman, yang menjual buah durian, manggis dan lainnya.

"Namanya siapa?" Saya kembali bertanya dan menunjuk gadis yang berbaju oren tersebut.

"Citra". Dia menjawab pendek sambil tersenyum-senyum.

"Lalu yang ini siapa namanya?" Saya bertanya ke yang satunya lagi.

"Cinta, Om." Anak tersebut menjawab. 

Setelah mendengarkan namanya membuat saya mulai sedikit curiga. Jangan-jangan saya telah dikadalin nih sama bocah. Kok bisa namanya hampir mirip, sama-sama diawali huruf C dan diakhiri huruf A. Apalagi mereka suka senyum-senyum.

"Itu benar nama kalian berdua?" Saya bertanya dengan tatapan lima rius.

"Iya, Om. Itu nama kami." Gadis yang di pojok kanan menjawab. Dan lagi-lagi mereka tersenyum, sambil mengumpulkan pahala. Karena senyum adalah ibadah.

Baiklah, saya percaya. Gumam dalam hati. 

Perbincangan kami semakin hangat ditengah dinginnya hujan. Dari perbincangan Sedikit-sedikit mereka juga mulai bertanya tentang kami. Dari mana Om? Mau kemana Om? Ngapain mau kesana Om? Sudah punya pacar Om? 

Pertanyaan yang terakhir jangan dibawa serius... itu hanya akal-akalan saya saja. Mana mungkin gadis sekecil itu mikir yang aneh-aneh. Yang mereka pikirkan itu hanyalalah belajar dan bermain.

Semakin panjang pembicaraan, semakin banyak pula hal yang saya tahu tentang mereka. Sama seperti anak-anak yang lain, sekarang ini mereka masih menimba ilmu di sebuah Sekolah Dasar. Citra berusia 9 tahun dan duduk dibangku kelas 4. Sedangkan Cinta berusia 7 tahun dan duduk dibangku kelas 2.

Layaknya seperti kita, mereka juga memiliki sebuah hobi. Sesuatu yang sangat disenangi untuk dilakukan. Citra memiliki hobi main badminton, salah satu olahraga yang banyak disenangi orang. Saya juga sempat bertanya, kira-kira siapa pemain badminton favoritnya. Dia hanya menggeleng-geleng sambil mengatakan tidak tahu.

Sama seperti Citra, Cinta juga memiliki hobi di bidang olahraga. Jika Citra lebih senang badminton, maka  Cinta lebih senang bermain voli. Jawaban tersebut tentu saja mengundang pertanyaan saya yang lebih banyak. Emangnya Cinta bisa? Cinta kan masih kecil? Mainnya dimana? 

Cinta langsung menjawab dengan percaya diri. Dia berusaha meyakinkan saya, meskipun usia masih muda dan badan kecil, bukan berarti tidak bisa melakukan sesuatu yang disenangi. Dia juga menyebutkan tempat biasanya bermain voli, yaitu disekolahan dan lapangan milik masyarakat.

Semoga saja kedepannya mereka bisa mengharumkan nama  Indonesia dikancah dunia.

Berbicara cita-cita tentunya mereka juga punya.

"Kalau besar nanti cita-citanya jadi apa". Saya kembali bertanya kepada mereka

"Saya ingin jadi guru agama, Om." Citra yang langsung menjawab.

"Kalau Cinta, cita-citanya jadi apa?"

"Saya ingin jadi dokter." Cinta menjawab, sambil memandang saya dengan tatapan mata penuh harapan.

Saya juga sempat bertanya kenapa ingin bercita-cita seperti itu. Citra menjawab kalau dia ingin seperti guru Katoliknya disekolahan, yang bisa mengajarkan agama ke yang lainnya. Sedangkan Cinta ingin mengobati orang yang lagi sakit.

Mendengar cita-cita mereka dan alasannya membuat saya merasa takjub. Ternyata dibalik kepolosan mereka berdua, tersimpan sebuah harapan yang besar. Tidak hanya untuk kepentingan mereka, tetapi juga untuk orang banyak. Semoga saja cita-cita yang mereka inginkan akan terwujud dimasa yang akan datang. Belajar yang semangat ya dek...

Tiga puluh menit berlalu. Hujan pun redah, meninggalkan sedikit tetesan air dari atas genteng dan pepohonan. Perbincangan di kaki Bukit Benuah pun harus diakhiri. Saya pun izin pamit dan mereka membalasnya dengan lambaian tangan. Semoga disuatu saat terdengar kabar kalau mereka sudah jadi guru dan dokter.

Media Sosial yang digunakan:


EmoticonEmoticon